Tuesday 5 April 2016

I am Nothing

1 April, 2016

Ketika ada yang merayakan April Mop, maka tanggal ini justru mengingatkan saya kalau sudah enam bulan saya meninggalkan pekerjaan di dunia jurnalis televisi. Ada yang bilang itu hal yang mudah buat saya karena saya bisa keliling kota lewat hobi motret dan trip foto yang dijalani bersama suami saya. Ada juga yang bilang itu susah karena masih meyakini saya sangat mencintai pekerjaan yang saya dulu, bahkan meminta saya untuk berpikir ulang dan kembali bekerja. Saya tidak menjawab keduanya karena saya rasa tidak perlu. Tapi tulisan ini membuat saya mempertimbangkan untuk menjawab keduanya.

Ketika saya bekerja di Met**tv, tidak sedikit reporter ataupun anak magang yang bertanya, kenapa saya memilih perkerjaan yang dikenal susah cuti dan libur sabtu minggu ini. Jawaban saya selalu sama, menjadi reporter memungkinkan saya menjadi siapa saja, mencicipi dunia kalangan atas karena diundang meliput pesta mereka, atau mencicipi makanan basi yang dipanasi karena harus liputan kemiskinan. Kamu bisa keluar masuk istana dengan menunjukkan ID Pers, bercengkrama dengan pejabat yang susah ditemui, atau menikmati kopi bersama preman di pasar. Kamu bisa menikmati lokasi wisata yang baru dibuka dan belum dipublikasikan, atau menjadi orang pertama yang bertahan di lokasi bencana atau konflik ketika pemerintah dan aparat justru sibuk mengevakuasi warga.

Belum lagi resiko pekerjaan. Kamu bisa lupa hari ulang tahun pacar/keluarga/kakak/adik/teman karena sibuk live atau nungguin tersangka diperiksa KPK, atau lupa dengan kejombloanmu yang menahun karena sibuk dengan gosip dan mengetik naskah investigasi soal politikus yang bermain proyek. Kamu bisa saja lupa dengan janji atau membatalkan janji bersosialisasi dengan teman-temanmu karena tiba-tiba harus keluar kota, keluarga akan lebih sering mendengar suara dan wajahmu di televisi daripada melihatmu di rumah saat lebaran atau tahun baru. Orangtua saya malah berpikir, selama masih mendengar suara dan wajah saya di televisi berarti saya sehat-sehat saja. Meski mereka sempat kecolongan saat saya diopname, mereka baru tahu beberapa hari kemudian dan terus terang saya tidak suka dijenguk. Terbiasa mandiri dan sendiri menjadikan saya tidak mengabari orangtua saat masuk rumah sakit 3 tahun lalu akibat serangan vertigo di kantor. Saya mengabari ketika sudah keluar rumah sakit dan orangtua saya cuma menghela nafas.

Saya meniti karir sebagai reporter di a**v selama 7 tahun dengan 2 tahun ditunda pengangkatannya atas tuduhan sebagai reporter yang suka membangkang. Pergantian pemred meloloskan saya karena atasan baru saya saat itu berpendapat, saya membangkang pasti ada alasan dan penurut tidak selalu bisa kerja. Saya pindah ke tivi lain pun atas ajakan salah satu teman senior dengan menitip lamaran kepadanya. Pindah kerja berarti kenaikan gaji dan tentunya penambahan kerja dan tugas karena tivi biru tersebut adalah tivi berita dan saya bekerja di bawah desk politik hukum dan keamanan yang bertanggung jawab atas lebih dari 50% naskah berita. Tidak sedikit yang mencibir, ada juga yang mencoba menguji, ada pun yang menuduh saya dibayar dengan gaji di atas dua dijit. Wow! Amin. Cuma itu yang saya bilang. Tapi perpindahan itu juga yang menjadikan saya lebih mengerti tentang politik dan media. Tentang pertemanan dan keluarga.

Di awal tahun saya bisa saja berdebat dengan pemred, atau atasan saya yang lain. Mereka sudah seperti bapak saya, bukan lagi atasan. Saya tidak pernah merasa punya bawahan, tapi partner dan adik. Banyak reporter justru memanggil saya dengan sebutan "emak" daripada "mbak". Setelah pukul 18.00 meja saya akan penuh dengan reporter yang pulang untuk melapor kejadian hari ini dan proyeksi buat besok. Tapi tidak sedikit juga yang bergosip atau bersembunyi di meja saya.


Masih terekam di benak saya ada yang mengikuti saya ke ruang editing hanya untuk menangis karena putus cinta, ada yang menelfon menangis atas rapuhnya urusan percintaan dan keluarga, ada yang ngikik bergosip tentang ulah para pejabat, istri atau ajudan, atau yang mulai keringat dingin karena naskahnya ga jadi-jadi. Pernah suatu hari saya menerima telfon dari ibu salah satu reporter yang mengaku khawatir anaknya tidak ada kabar selama 3 hari. Atau reporter yang menangis sejadi-jadinya di telfon dan diajari untuk melewati masa patah hati. "Mba Prima galak!" Itu yang ada di benak mereka tapi mereka selalu kembali ke saya meski saya damprat dengan suara keras.

Tahun berlalu, bos pun berganti. Reporter tak lagi curhat soal hati, keluarga, pekerjaan, tapi juga soal bos baru. Buat saya pergantian pejabat itu hal biasa, demikian reshufle kabinet bukan? Waktu saya bergosip dari matahari terbit hingga matahari terbenam terbatas karena jadwal kerja saya yang berubah. Tapi ponsel saya masih 24 jam sedia menerima keluhan mereka. Hingga saat ini, hingga 6 bulan saya meninggalkan kantor itu. Banyak pesan singkat yang saya terima atas keputusan saya mengundurkan diri. Ada juga reporter yang menolak menemui saya tapi menelfon saya dan menangis sejadi-jadinya karena kehilangan saya.

Sampai sekarang pun, tidak sedikit pesan singkat saya terima hanya sekedar menanyakan kabar, atau bermaksud nyampah, istilah kami ketika hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg tanpa perlu mendapat saran. Saya akui suka gatel melihat laporan reporter sekarang yang sering slip tongue atau salah menerjemahkan situasi dan kondisi. Tapi akhirnya saya hanya tersenyum mengingat sering menelfon reporter yang melakukan kesalahan dan memintanya menemui saya usai melakukan peliputan. Kini, menyaksikan masing-masing dari mereka menapak karir dengan signifikan dan matang, lega rasanya. Ada yang mungkin sudah melupakan saya, tapi tidak sedikit yang masih menghubungi saya.

Baru 6 bulan meninggalkan rindu yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Canda, tawa, makian, amarah, sedih, saya tidak tahu mana yang lebih dominan. Tapi dalam waktu setengah tahun itu pula saya semakin sadar bahwa saya bukan siapa-siapa dan bukan segalanya. Jengah dengan birokrasi saya alami ketika menanggalkan seragam dan ID Card ketika berusaha sendiri mengurus dokumen atau izin usaha tanpa bantuan siapa pun. Saya menolak bantuan ataupun usul untuk minta bantuan karena saya ingin betul melihat dan mengalami dunia nyata tanpa embel-embel jabatan atau koneksi. I am nothing for the last 6 months and still counting..

Nothing last forever. Bahkan hidup ini. Semakin tinggi jabatan saya, semakin saya sadar saya bukan siapa-siapa tanpa mereka yang berada di bawah struktur kepemimpinan saya. I am nothing. Dan jangan tanya lagi kapan saya akan kembali karena jika memang waktunya saya akan kembali. Kali ini biarkan saya melihat dari jauh tanpa harus bersentuh konflik dengan rekan kerja ataupun atasan. Saya tahu kalian baik-baik saja disana. Dan saya tetap menjadi ibu atau kakak di luar sini yang masih siap sedia menerima telfon 24 jam kapan pun selagi ada sinyal di ponsel saya. Hehehehe.

Salam hormat saya buat para senior yang juga memilih jalannya masing-masing dan masih sempat menjenguk kondisi saya meski hanya lewat media sosial.

Salam rindu dari dunia antah berantah. Suatu hari kiranya waktu menyediakan tempat untuk kita bersua lagi.


3 comments:

  1. Senang bisa mengenal sosok mbak dan emak yang (mungkin terdengar hiper tapi nyata) luar biasa. Miss you :')

    ReplyDelete
  2. Semoga suatu saat saya mendapat kesempatan untuk betemu dengan Bu Virginia Prima

    ReplyDelete