Separuh Abad Mengabdi
Perawakannya tidak terlalu tinggi, sekitar 160 cm, bertubuh kurus dengan rahang kuat, selalu menggunakan peci, dengan sorot mata serius dibalik kacamatanya menatap penari. Matanya masih awas melihat gerakan tari secara rinci.
Gerakan awal dalam menari melayu adalah menyamakan gerakan tangan, kaki dan irama musik berdasar ketukan gendang. Ada hal yang tidak boleh dilanggar seperti ayunan tangan tidak boleh lebih tinggi dari pinggang karena dianggap tidak sopan, bahu dilarang membungkuk, langkah kaki harus seperti membentuk garis lurus, berjarak kurang dari satu langkah dan tidak boleh bersuara.
“Bayangkan kalian berjalan di atas bara api, perlahan hati-hati dan anggun. Bergeraklah seperti pohon bambu terkena angin, akar kuat batang berayun sulit patah.” Secara tak sadar gerakan ini melatih
saya lebih sabar, fokus dan paham posisi berdiri yang baik.
Satu demi satu panggung saya jalani tak terkecuali perlombaan yang menurut beliau menang kalah adalah hal biasa, tapi penari harus menampilkan yang terbaik. Baginya penari harus punya panggung sendiri sehingga beliau selalu menolak keras bila anak didiknya hanya menjadi latar belakang penyanyi. Saat seleksi penari untuk event tari nasional kami selalu lolos dengan posisi barisan terdepan diantara belasan sanggar di Jakarta yang ikut seleksi.
Kami tidak tahu namanya selain, Wardi. Kami menambahkan ‘kak’ atau ‘kakek’ di depan namanya untuk memanggil beliau. Kami juga tidak pernah tahu pasti berapa umur kak Wardi karena tanggal lahirnya pun kami tidak tahu. Kami hanya tahu kasih sayangnya bagai orang tua yang akan mengawasi kami selagi kami berada di dekatnya, serta pengabdian beliau puluhan tahun di dunia tari tradisional dan Sanggar Putih Melati.
Mengajar dan mendidik adalah hal yang berbeda. Beliau menerapkan keduanya tanpa berharap dukungan materi berlebih dan hidup dengan prinsip teguh. Senyum dan tawa beliau adalah segalanya. Terima kasih kak Wardi atas pengabdianmu dalam separuh abad.
***
No comments:
Post a Comment