Sunday 22 November 2015

Separuh Abad Mengabdi

Perawakannya tidak terlalu tinggi, sekitar 160 cm, bertubuh kurus dengan rahang kuat, selalu menggunakan peci, dengan sorot mata serius dibalik kacamatanya menatap penari. Matanya masih awas melihat gerakan tari secara rinci.

Gerakan awal dalam menari melayu adalah menyamakan gerakan tangan, kaki dan irama musik berdasar ketukan gendang. Ada hal yang tidak boleh dilanggar seperti ayunan tangan tidak boleh lebih tinggi dari pinggang karena dianggap tidak sopan, bahu dilarang membungkuk, langkah kaki harus seperti membentuk garis lurus, berjarak kurang dari satu langkah dan tidak boleh bersuara.
“Bayangkan kalian berjalan di atas bara api, perlahan hati-hati dan anggun. Bergeraklah seperti pohon bambu terkena angin, akar kuat batang berayun sulit patah.” Secara tak sadar gerakan ini melatih

saya lebih sabar, fokus dan paham posisi berdiri yang baik.

Satu demi satu panggung saya jalani tak terkecuali perlombaan yang menurut beliau menang kalah adalah hal biasa, tapi penari harus menampilkan yang terbaik. Baginya penari harus punya panggung sendiri sehingga beliau selalu menolak keras bila anak didiknya hanya menjadi latar belakang penyanyi. Saat seleksi penari untuk event tari nasional kami selalu lolos dengan posisi barisan terdepan diantara belasan sanggar di Jakarta yang ikut seleksi.

Latihan adalah wajib meski tarian itu setiap latihan kami lakukan sebab menurutnya orang sering ‘jatuh’ karena menyepelekan hal kecil. Ada saja yang dikritik, tapi beliau akan diam bila merasa sudah sempurna. Hanya saja diam itu biasanya muncul saat kami sudah di atas panggung. Satu lagi, penari dilarang berkeliaran sebelum pentas kecuali ke toilet.

Didikan keras beliau membuahkan hasil. Kami jarang pulang tanpa membawa piala. Pernah sekali waktu kami kalah di perlombaan di Jakarta Timur, beliau hanya tertawa dan menyuruh kami makan siang bersama. Kebersamaan. Itu juga yang diterapkan kepada kami. Pentas di dalam negeri ataupun di luar negeri kami harus bersama. Anak putri dilarang berkeliaran sendiri tanpa pengawasan kakak senior ataupun beliau. Maka kami pun menganggap beliau sebagai orang tua sebab setiap pentas beliau akan mengabsen dan mengantarkan kami satu per satu hingga ke depan rumah dengan mobil kijang kotak biru, yang masih ada dan setia mengiringi pengabdian beliau hingga tulisan ini saya buat.

Kami tidak tahu namanya selain, Wardi. Kami menambahkan ‘kak’ atau ‘kakek’ di depan namanya untuk memanggil beliau. Kami juga tidak pernah tahu pasti berapa umur kak Wardi karena tanggal lahirnya pun kami tidak tahu. Kami hanya tahu kasih sayangnya bagai orang tua yang akan mengawasi kami selagi kami berada di dekatnya, serta pengabdian beliau puluhan tahun di dunia tari tradisional dan Sanggar Putih Melati. 

Perkiraan kami umur beliau kini mencapai 70 tahun, itu berarti sekitar separuh abad beliau mengabdikan diri di bidang tari dan sempat juga mengajar di SD. Tari bukanlah bidang pembelajaran profesional. Tapi didikan dan disiplin yang diterapkan secara tak sadar membentuk karakter anak perempuan, tumbuh menjadi wanita dewasa yang sekaligus mencintai dan melestarikan budayanya.

Mengajar dan mendidik adalah hal yang berbeda. Beliau menerapkan keduanya tanpa berharap dukungan materi berlebih dan hidup dengan prinsip teguh. Senyum dan tawa beliau adalah segalanya. Terima kasih kak Wardi atas pengabdianmu dalam separuh abad.


***

No comments:

Post a Comment