Saturday 9 May 2020

Dunia yang Sempurna


“Do what makes you happy, and don’t care what others think.” (Demi Lovato)

“Saling melengkapi untuk menjadi sempurna atau berusaha menjadi lengkap unutk mencapai kesempurnaan, tapi di mata siapa? Di mata orang pada umumnya yang sudah terbalut norma ke-umum-an? Atau bahagia dengan melengkapi dan mencapai kesempurnaan dengan cara kita sendiri?”



Di tengah maraknya perbincangan drama Korea saat banyak yang punya waktu luang karena kerja dari rumah, saya beralih ke drama Jepang yang dirilis 2019 karena baru sempat ditonton sejak pekan lalu. Judulnya, “Perfect World” dengan total 10 episode. Ada yang sudah nonton?

Baru kali ini saya nonton drama Jepang dengan detail naskah percakapan dan visual yang cukup rinci dan “kena” banget. Sinopsisnya cukup menarik, meski terus terlewat sejak awal rilis belum sempat nonton. Tentang perempuan, Tsugumi Kawana, usia hampir 30 tahun dan bertemu kembali dengan cinta pertamanya saat SMA, Itsuki Ayukawa, namun dalam keadaan lumpuh total dari pinggang ke bawah dan mengenakan kursi roda. Romansa saat remaja kembali, dengan keadaan dan kenyataan yang berbeda. 

Pria yang mendekati Kawana merasa punya nilai lebih karena punya fisik normal dan melihat Ayukawa tak sesempurna di masa remaja. Sementara Ayukawa tak lagi punya hasrat untuk memiliki pasangan karena sadar dengan kekurangannya. Kawana sibuk berdamai dengan perasaan, logika, kenyataan dan realita.

Tapi romansa tertunda masa remaja dan perasaan yang tak bisa dibohongi membuat keduanya mencoba untuk menjalin hubungan dan saling menghargai kekurangan satu sama lain. Scene demi scene begitu jujur, mereka berbagi cerita, beradaptasi dengan kekurangan, beradaptasi dengan kecemasan dan rasa rendah diri, hingga memastikan semuanya akan baik-baik saja meski banyak yang meragukan dan mempertentangkan. Mereka menciptakan dunia yang sempurna, menurut mereka. Dunia yang sempurna dan mungkin tidak dimengerti oleh orang lain. Dunia yang sempurna yang mereka rasa lengkap tapi tidak sama di mata orang lain.

Kata “Sempurna” identik dengan padanan kata “Lengkap”
Entah… mungkin dua kata itu saling berhubungan atau saling mengisi?

Teringat di sebuah grup perbincangan kantor, seorang senior yang dianggap teruji kesantunan dan ibadahnya menulis kalimat agak lain dengan anggota grup saat ada rekan yang baru saja melahirkan, “Selamat ya.. lengkap sudah keluarga kecilmu..”
Tidak ada yang salah dengan kalimat ini. 
Tapi saya kemudian berpikir, apakah keluarga/pasangan yang belum punya anak lalu dianggap tidak lengkap? Tidak sempurna? 

Kembali ke scene dalam drama “Perfect World” saat ibu Kawane mencoba bijak dengan bertanya, “Bagaimana dengan anak? Apakah dia bisa memberimu anak/keturunan dengan kondisinya?”
Ada scene berikutnya di episode jelang pernikahan mereka saat Ayukawa mencoba terbuka, “Kawana, entah aku bisa punya anak atau tidak, meskipun bisa kita mungkin harus jalani fertilisasi in vitro. Secara fisik akan menjadi beban bagimu, Kawana. Tapi aku ingin punya anak bila memungkinkan.”
“Itu kesulitan yang membawa kebahagian, aku akan dengan senang hati menjalaninya.” jawab Kawana.

Kawana dan Ayukawa mencoba berdamai dengan kata ‘lengkap’ dan kata ‘sempurna’ dengan cara mereka sendiri. Bukan dengan pandangan dan norma orang lain pada umumnya.

Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dihadapi seseorang atau pasangan untuk mencapai kata ‘sempurna’ atau ‘lengkap’ yang seakan menjadi pencapaian setiap orang pada umumnya. Dewasa, mapan, menikah, punya anak, lalu apa? Mati?

Tapi tak bisakah kita berkata atau melontarkan kalimat yang selayaknya saja tanpa menyinggung orang lain tanpa kita sadari? 

Kita tidak pernah tahu perjuangan wanita atau pria yang usianya dianggap sudah matang dan mapan tapi belum bertemu jodoh. Alih-alih justru kita melontarkan kalimat, “Menikah sana cari jodohmu biar lengkap ibadahmu.”
Lah, memang selama ini ibadah dia tidak lengkap kalau tidak ada pasangan? Siapa anda bisa menilai seperti itu? Bukankah hanya Tuhan yang bisa menilai ibadah seseorang?

Atau kita melarang sahabat untuk bercerai karena suaminya selingkuh dengan bilang, “Apa nanti kata orang? Kamu janda punya anak, nanti gimana anakmu makan? Sudah maafkan saja baru kali ini kan?” 
tanpa berpikir apa yang bisa membuat dia bahagia?

Atau justru memaksa teman kita bercerai karena KRDT suaminya, tapi justru teman itu berujar, “ini karmaku dan ibadahku.”

Setiap orang, punya cara masing-masing untuk bahagia, untuk memenuhi kata ‘lengkap’ dan mencapai kata ‘sempurna’ entah itu di mata dia pribadi atau di mata keluarga dan orang lain.

Saat ada teman dengan masalah datang ke saya, cuma satu kalimat yang saya lontarkan setelah dia selesai curhat, “Apa yang membuatmu bahagia? Aku mendukungmu.”
dengan kata lain, saya meminjam kalimat Demi Lovato, “If you’re going through a dark period, remember that you’re not alone.

Berhentilah membandingkan orang lain dengan dirimu atau orang lain. Berhentilah membandingkan kehidupanmu yang kau nilai sudah lengkap dan mumpuni dengan orang lain yang masih kamu anggap berkekurangan atau tidak sesuai standarmu. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk melengkapi kebahagiaan dan menuju sempurna karena kita tidak pernah tahu pergulatan hebat macam apa yang sedang dia hadapi.

To heal a wound you need to stop touching it.” (Buddha-quotes)

Alih-alih bertanya, “Kapan nikah?” kepada teman yang masih single, bukankah lebih baik dengan kalimat, “Kamu belum nikah? Terus usaha apa sekarang? Punya hobi apa?” saling berbagi cerita dan kisah inspiratif yang membanggakan dan membuat hidup lebih termotivasi.

Saya mulai menghindari kalimat-kalimat standar atau pada umumnya yang diucapkan ketika mengetahui kondisi seseorang. 
“Kapan nikah?”
“Kapan punya anak?”
“Kapan nambah anak?”
“Kapan mau cerai? Ga cape diselingkuhi terus?”
“Kenapa ga cerai? Kamu kuat dipukulin tiap hari?”

Saya lebih suka mengucapkan kalimat, 
“Kamu tahu kan resiko apa saja kalau cerai dan tidak cerai?”
“Kamu perlu obat apa saja buat memulihkan luka?”
“Kamu mau ditemani ke dokter untuk berobat?”
“Kamu butuh apa saja saat ini?”

“Turutlah apa yang diwahyukan kepadamu. Dan bersabarlah sampai Allah memberikan putusan. Dan Ia sebaik-baiknya hakim (yang memutuskan) 
(QS Yunus;109 - terjemahan HB Jassin)

Kita bukan hakim atas diri orang lain, maka kita tidak bisa menghakimi orang lain dengan memberikan pandangan terhadap hidup normal dan sesuai norma. Karena tidak semua orang bisa menerima atau pun berdamai dengan norma pada umumnya. 

Bahagia adalah kunci.

Ada banyak hal yang tidak bisa kulakukan.
Tapi ada banyak hal juga yang tidak bisa dia lakukan.
Tidak masalah kau difabel atau tidak.
Setiap orang memiliki kelemahan masing-masing.
Tidak ada orang yang sempurna.
Tapi jika kamu memiliki teman, keluarga atau pasangan, yang bisa mendukung dan melengkapi kekuranganmu, 
dunia ini akan bersinar.
Karena aku bisa hidup bersamanya, aku bisa memercayai itu.
Ada banyak hal yang menanti kita di masa depan.
Tapi apa pun yang terjadi, Tsugumi dan aku akan berjalan bersama menuju masa depan yang telah kami pilih sendiri.
(Itsuka Ayukawa - Perfect World, Episode 10)

-END-

No comments:

Post a Comment