Saturday 9 May 2020

Dunia yang Sempurna


“Do what makes you happy, and don’t care what others think.” (Demi Lovato)

“Saling melengkapi untuk menjadi sempurna atau berusaha menjadi lengkap unutk mencapai kesempurnaan, tapi di mata siapa? Di mata orang pada umumnya yang sudah terbalut norma ke-umum-an? Atau bahagia dengan melengkapi dan mencapai kesempurnaan dengan cara kita sendiri?”



Di tengah maraknya perbincangan drama Korea saat banyak yang punya waktu luang karena kerja dari rumah, saya beralih ke drama Jepang yang dirilis 2019 karena baru sempat ditonton sejak pekan lalu. Judulnya, “Perfect World” dengan total 10 episode. Ada yang sudah nonton?

Baru kali ini saya nonton drama Jepang dengan detail naskah percakapan dan visual yang cukup rinci dan “kena” banget. Sinopsisnya cukup menarik, meski terus terlewat sejak awal rilis belum sempat nonton. Tentang perempuan, Tsugumi Kawana, usia hampir 30 tahun dan bertemu kembali dengan cinta pertamanya saat SMA, Itsuki Ayukawa, namun dalam keadaan lumpuh total dari pinggang ke bawah dan mengenakan kursi roda. Romansa saat remaja kembali, dengan keadaan dan kenyataan yang berbeda. 

Pria yang mendekati Kawana merasa punya nilai lebih karena punya fisik normal dan melihat Ayukawa tak sesempurna di masa remaja. Sementara Ayukawa tak lagi punya hasrat untuk memiliki pasangan karena sadar dengan kekurangannya. Kawana sibuk berdamai dengan perasaan, logika, kenyataan dan realita.

Tapi romansa tertunda masa remaja dan perasaan yang tak bisa dibohongi membuat keduanya mencoba untuk menjalin hubungan dan saling menghargai kekurangan satu sama lain. Scene demi scene begitu jujur, mereka berbagi cerita, beradaptasi dengan kekurangan, beradaptasi dengan kecemasan dan rasa rendah diri, hingga memastikan semuanya akan baik-baik saja meski banyak yang meragukan dan mempertentangkan. Mereka menciptakan dunia yang sempurna, menurut mereka. Dunia yang sempurna dan mungkin tidak dimengerti oleh orang lain. Dunia yang sempurna yang mereka rasa lengkap tapi tidak sama di mata orang lain.

Kata “Sempurna” identik dengan padanan kata “Lengkap”
Entah… mungkin dua kata itu saling berhubungan atau saling mengisi?

Teringat di sebuah grup perbincangan kantor, seorang senior yang dianggap teruji kesantunan dan ibadahnya menulis kalimat agak lain dengan anggota grup saat ada rekan yang baru saja melahirkan, “Selamat ya.. lengkap sudah keluarga kecilmu..”
Tidak ada yang salah dengan kalimat ini. 
Tapi saya kemudian berpikir, apakah keluarga/pasangan yang belum punya anak lalu dianggap tidak lengkap? Tidak sempurna? 

Kembali ke scene dalam drama “Perfect World” saat ibu Kawane mencoba bijak dengan bertanya, “Bagaimana dengan anak? Apakah dia bisa memberimu anak/keturunan dengan kondisinya?”
Ada scene berikutnya di episode jelang pernikahan mereka saat Ayukawa mencoba terbuka, “Kawana, entah aku bisa punya anak atau tidak, meskipun bisa kita mungkin harus jalani fertilisasi in vitro. Secara fisik akan menjadi beban bagimu, Kawana. Tapi aku ingin punya anak bila memungkinkan.”
“Itu kesulitan yang membawa kebahagian, aku akan dengan senang hati menjalaninya.” jawab Kawana.

Kawana dan Ayukawa mencoba berdamai dengan kata ‘lengkap’ dan kata ‘sempurna’ dengan cara mereka sendiri. Bukan dengan pandangan dan norma orang lain pada umumnya.

Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dihadapi seseorang atau pasangan untuk mencapai kata ‘sempurna’ atau ‘lengkap’ yang seakan menjadi pencapaian setiap orang pada umumnya. Dewasa, mapan, menikah, punya anak, lalu apa? Mati?

Tapi tak bisakah kita berkata atau melontarkan kalimat yang selayaknya saja tanpa menyinggung orang lain tanpa kita sadari? 

Kita tidak pernah tahu perjuangan wanita atau pria yang usianya dianggap sudah matang dan mapan tapi belum bertemu jodoh. Alih-alih justru kita melontarkan kalimat, “Menikah sana cari jodohmu biar lengkap ibadahmu.”
Lah, memang selama ini ibadah dia tidak lengkap kalau tidak ada pasangan? Siapa anda bisa menilai seperti itu? Bukankah hanya Tuhan yang bisa menilai ibadah seseorang?

Atau kita melarang sahabat untuk bercerai karena suaminya selingkuh dengan bilang, “Apa nanti kata orang? Kamu janda punya anak, nanti gimana anakmu makan? Sudah maafkan saja baru kali ini kan?” 
tanpa berpikir apa yang bisa membuat dia bahagia?

Atau justru memaksa teman kita bercerai karena KRDT suaminya, tapi justru teman itu berujar, “ini karmaku dan ibadahku.”

Setiap orang, punya cara masing-masing untuk bahagia, untuk memenuhi kata ‘lengkap’ dan mencapai kata ‘sempurna’ entah itu di mata dia pribadi atau di mata keluarga dan orang lain.

Saat ada teman dengan masalah datang ke saya, cuma satu kalimat yang saya lontarkan setelah dia selesai curhat, “Apa yang membuatmu bahagia? Aku mendukungmu.”
dengan kata lain, saya meminjam kalimat Demi Lovato, “If you’re going through a dark period, remember that you’re not alone.

Berhentilah membandingkan orang lain dengan dirimu atau orang lain. Berhentilah membandingkan kehidupanmu yang kau nilai sudah lengkap dan mumpuni dengan orang lain yang masih kamu anggap berkekurangan atau tidak sesuai standarmu. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk melengkapi kebahagiaan dan menuju sempurna karena kita tidak pernah tahu pergulatan hebat macam apa yang sedang dia hadapi.

To heal a wound you need to stop touching it.” (Buddha-quotes)

Alih-alih bertanya, “Kapan nikah?” kepada teman yang masih single, bukankah lebih baik dengan kalimat, “Kamu belum nikah? Terus usaha apa sekarang? Punya hobi apa?” saling berbagi cerita dan kisah inspiratif yang membanggakan dan membuat hidup lebih termotivasi.

Saya mulai menghindari kalimat-kalimat standar atau pada umumnya yang diucapkan ketika mengetahui kondisi seseorang. 
“Kapan nikah?”
“Kapan punya anak?”
“Kapan nambah anak?”
“Kapan mau cerai? Ga cape diselingkuhi terus?”
“Kenapa ga cerai? Kamu kuat dipukulin tiap hari?”

Saya lebih suka mengucapkan kalimat, 
“Kamu tahu kan resiko apa saja kalau cerai dan tidak cerai?”
“Kamu perlu obat apa saja buat memulihkan luka?”
“Kamu mau ditemani ke dokter untuk berobat?”
“Kamu butuh apa saja saat ini?”

“Turutlah apa yang diwahyukan kepadamu. Dan bersabarlah sampai Allah memberikan putusan. Dan Ia sebaik-baiknya hakim (yang memutuskan) 
(QS Yunus;109 - terjemahan HB Jassin)

Kita bukan hakim atas diri orang lain, maka kita tidak bisa menghakimi orang lain dengan memberikan pandangan terhadap hidup normal dan sesuai norma. Karena tidak semua orang bisa menerima atau pun berdamai dengan norma pada umumnya. 

Bahagia adalah kunci.

Ada banyak hal yang tidak bisa kulakukan.
Tapi ada banyak hal juga yang tidak bisa dia lakukan.
Tidak masalah kau difabel atau tidak.
Setiap orang memiliki kelemahan masing-masing.
Tidak ada orang yang sempurna.
Tapi jika kamu memiliki teman, keluarga atau pasangan, yang bisa mendukung dan melengkapi kekuranganmu, 
dunia ini akan bersinar.
Karena aku bisa hidup bersamanya, aku bisa memercayai itu.
Ada banyak hal yang menanti kita di masa depan.
Tapi apa pun yang terjadi, Tsugumi dan aku akan berjalan bersama menuju masa depan yang telah kami pilih sendiri.
(Itsuka Ayukawa - Perfect World, Episode 10)

-END-

Tuesday 5 April 2016

I am Nothing

1 April, 2016

Ketika ada yang merayakan April Mop, maka tanggal ini justru mengingatkan saya kalau sudah enam bulan saya meninggalkan pekerjaan di dunia jurnalis televisi. Ada yang bilang itu hal yang mudah buat saya karena saya bisa keliling kota lewat hobi motret dan trip foto yang dijalani bersama suami saya. Ada juga yang bilang itu susah karena masih meyakini saya sangat mencintai pekerjaan yang saya dulu, bahkan meminta saya untuk berpikir ulang dan kembali bekerja. Saya tidak menjawab keduanya karena saya rasa tidak perlu. Tapi tulisan ini membuat saya mempertimbangkan untuk menjawab keduanya.

Ketika saya bekerja di Met**tv, tidak sedikit reporter ataupun anak magang yang bertanya, kenapa saya memilih perkerjaan yang dikenal susah cuti dan libur sabtu minggu ini. Jawaban saya selalu sama, menjadi reporter memungkinkan saya menjadi siapa saja, mencicipi dunia kalangan atas karena diundang meliput pesta mereka, atau mencicipi makanan basi yang dipanasi karena harus liputan kemiskinan. Kamu bisa keluar masuk istana dengan menunjukkan ID Pers, bercengkrama dengan pejabat yang susah ditemui, atau menikmati kopi bersama preman di pasar. Kamu bisa menikmati lokasi wisata yang baru dibuka dan belum dipublikasikan, atau menjadi orang pertama yang bertahan di lokasi bencana atau konflik ketika pemerintah dan aparat justru sibuk mengevakuasi warga.

Belum lagi resiko pekerjaan. Kamu bisa lupa hari ulang tahun pacar/keluarga/kakak/adik/teman karena sibuk live atau nungguin tersangka diperiksa KPK, atau lupa dengan kejombloanmu yang menahun karena sibuk dengan gosip dan mengetik naskah investigasi soal politikus yang bermain proyek. Kamu bisa saja lupa dengan janji atau membatalkan janji bersosialisasi dengan teman-temanmu karena tiba-tiba harus keluar kota, keluarga akan lebih sering mendengar suara dan wajahmu di televisi daripada melihatmu di rumah saat lebaran atau tahun baru. Orangtua saya malah berpikir, selama masih mendengar suara dan wajah saya di televisi berarti saya sehat-sehat saja. Meski mereka sempat kecolongan saat saya diopname, mereka baru tahu beberapa hari kemudian dan terus terang saya tidak suka dijenguk. Terbiasa mandiri dan sendiri menjadikan saya tidak mengabari orangtua saat masuk rumah sakit 3 tahun lalu akibat serangan vertigo di kantor. Saya mengabari ketika sudah keluar rumah sakit dan orangtua saya cuma menghela nafas.

Saya meniti karir sebagai reporter di a**v selama 7 tahun dengan 2 tahun ditunda pengangkatannya atas tuduhan sebagai reporter yang suka membangkang. Pergantian pemred meloloskan saya karena atasan baru saya saat itu berpendapat, saya membangkang pasti ada alasan dan penurut tidak selalu bisa kerja. Saya pindah ke tivi lain pun atas ajakan salah satu teman senior dengan menitip lamaran kepadanya. Pindah kerja berarti kenaikan gaji dan tentunya penambahan kerja dan tugas karena tivi biru tersebut adalah tivi berita dan saya bekerja di bawah desk politik hukum dan keamanan yang bertanggung jawab atas lebih dari 50% naskah berita. Tidak sedikit yang mencibir, ada juga yang mencoba menguji, ada pun yang menuduh saya dibayar dengan gaji di atas dua dijit. Wow! Amin. Cuma itu yang saya bilang. Tapi perpindahan itu juga yang menjadikan saya lebih mengerti tentang politik dan media. Tentang pertemanan dan keluarga.

Di awal tahun saya bisa saja berdebat dengan pemred, atau atasan saya yang lain. Mereka sudah seperti bapak saya, bukan lagi atasan. Saya tidak pernah merasa punya bawahan, tapi partner dan adik. Banyak reporter justru memanggil saya dengan sebutan "emak" daripada "mbak". Setelah pukul 18.00 meja saya akan penuh dengan reporter yang pulang untuk melapor kejadian hari ini dan proyeksi buat besok. Tapi tidak sedikit juga yang bergosip atau bersembunyi di meja saya.


Masih terekam di benak saya ada yang mengikuti saya ke ruang editing hanya untuk menangis karena putus cinta, ada yang menelfon menangis atas rapuhnya urusan percintaan dan keluarga, ada yang ngikik bergosip tentang ulah para pejabat, istri atau ajudan, atau yang mulai keringat dingin karena naskahnya ga jadi-jadi. Pernah suatu hari saya menerima telfon dari ibu salah satu reporter yang mengaku khawatir anaknya tidak ada kabar selama 3 hari. Atau reporter yang menangis sejadi-jadinya di telfon dan diajari untuk melewati masa patah hati. "Mba Prima galak!" Itu yang ada di benak mereka tapi mereka selalu kembali ke saya meski saya damprat dengan suara keras.

Tahun berlalu, bos pun berganti. Reporter tak lagi curhat soal hati, keluarga, pekerjaan, tapi juga soal bos baru. Buat saya pergantian pejabat itu hal biasa, demikian reshufle kabinet bukan? Waktu saya bergosip dari matahari terbit hingga matahari terbenam terbatas karena jadwal kerja saya yang berubah. Tapi ponsel saya masih 24 jam sedia menerima keluhan mereka. Hingga saat ini, hingga 6 bulan saya meninggalkan kantor itu. Banyak pesan singkat yang saya terima atas keputusan saya mengundurkan diri. Ada juga reporter yang menolak menemui saya tapi menelfon saya dan menangis sejadi-jadinya karena kehilangan saya.

Sampai sekarang pun, tidak sedikit pesan singkat saya terima hanya sekedar menanyakan kabar, atau bermaksud nyampah, istilah kami ketika hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg tanpa perlu mendapat saran. Saya akui suka gatel melihat laporan reporter sekarang yang sering slip tongue atau salah menerjemahkan situasi dan kondisi. Tapi akhirnya saya hanya tersenyum mengingat sering menelfon reporter yang melakukan kesalahan dan memintanya menemui saya usai melakukan peliputan. Kini, menyaksikan masing-masing dari mereka menapak karir dengan signifikan dan matang, lega rasanya. Ada yang mungkin sudah melupakan saya, tapi tidak sedikit yang masih menghubungi saya.

Baru 6 bulan meninggalkan rindu yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Canda, tawa, makian, amarah, sedih, saya tidak tahu mana yang lebih dominan. Tapi dalam waktu setengah tahun itu pula saya semakin sadar bahwa saya bukan siapa-siapa dan bukan segalanya. Jengah dengan birokrasi saya alami ketika menanggalkan seragam dan ID Card ketika berusaha sendiri mengurus dokumen atau izin usaha tanpa bantuan siapa pun. Saya menolak bantuan ataupun usul untuk minta bantuan karena saya ingin betul melihat dan mengalami dunia nyata tanpa embel-embel jabatan atau koneksi. I am nothing for the last 6 months and still counting..

Nothing last forever. Bahkan hidup ini. Semakin tinggi jabatan saya, semakin saya sadar saya bukan siapa-siapa tanpa mereka yang berada di bawah struktur kepemimpinan saya. I am nothing. Dan jangan tanya lagi kapan saya akan kembali karena jika memang waktunya saya akan kembali. Kali ini biarkan saya melihat dari jauh tanpa harus bersentuh konflik dengan rekan kerja ataupun atasan. Saya tahu kalian baik-baik saja disana. Dan saya tetap menjadi ibu atau kakak di luar sini yang masih siap sedia menerima telfon 24 jam kapan pun selagi ada sinyal di ponsel saya. Hehehehe.

Salam hormat saya buat para senior yang juga memilih jalannya masing-masing dan masih sempat menjenguk kondisi saya meski hanya lewat media sosial.

Salam rindu dari dunia antah berantah. Suatu hari kiranya waktu menyediakan tempat untuk kita bersua lagi.


Sunday 22 November 2015

Separuh Abad Mengabdi

Perawakannya tidak terlalu tinggi, sekitar 160 cm, bertubuh kurus dengan rahang kuat, selalu menggunakan peci, dengan sorot mata serius dibalik kacamatanya menatap penari. Matanya masih awas melihat gerakan tari secara rinci.

Gerakan awal dalam menari melayu adalah menyamakan gerakan tangan, kaki dan irama musik berdasar ketukan gendang. Ada hal yang tidak boleh dilanggar seperti ayunan tangan tidak boleh lebih tinggi dari pinggang karena dianggap tidak sopan, bahu dilarang membungkuk, langkah kaki harus seperti membentuk garis lurus, berjarak kurang dari satu langkah dan tidak boleh bersuara.
“Bayangkan kalian berjalan di atas bara api, perlahan hati-hati dan anggun. Bergeraklah seperti pohon bambu terkena angin, akar kuat batang berayun sulit patah.” Secara tak sadar gerakan ini melatih

saya lebih sabar, fokus dan paham posisi berdiri yang baik.

Satu demi satu panggung saya jalani tak terkecuali perlombaan yang menurut beliau menang kalah adalah hal biasa, tapi penari harus menampilkan yang terbaik. Baginya penari harus punya panggung sendiri sehingga beliau selalu menolak keras bila anak didiknya hanya menjadi latar belakang penyanyi. Saat seleksi penari untuk event tari nasional kami selalu lolos dengan posisi barisan terdepan diantara belasan sanggar di Jakarta yang ikut seleksi.

Latihan adalah wajib meski tarian itu setiap latihan kami lakukan sebab menurutnya orang sering ‘jatuh’ karena menyepelekan hal kecil. Ada saja yang dikritik, tapi beliau akan diam bila merasa sudah sempurna. Hanya saja diam itu biasanya muncul saat kami sudah di atas panggung. Satu lagi, penari dilarang berkeliaran sebelum pentas kecuali ke toilet.

Didikan keras beliau membuahkan hasil. Kami jarang pulang tanpa membawa piala. Pernah sekali waktu kami kalah di perlombaan di Jakarta Timur, beliau hanya tertawa dan menyuruh kami makan siang bersama. Kebersamaan. Itu juga yang diterapkan kepada kami. Pentas di dalam negeri ataupun di luar negeri kami harus bersama. Anak putri dilarang berkeliaran sendiri tanpa pengawasan kakak senior ataupun beliau. Maka kami pun menganggap beliau sebagai orang tua sebab setiap pentas beliau akan mengabsen dan mengantarkan kami satu per satu hingga ke depan rumah dengan mobil kijang kotak biru, yang masih ada dan setia mengiringi pengabdian beliau hingga tulisan ini saya buat.

Kami tidak tahu namanya selain, Wardi. Kami menambahkan ‘kak’ atau ‘kakek’ di depan namanya untuk memanggil beliau. Kami juga tidak pernah tahu pasti berapa umur kak Wardi karena tanggal lahirnya pun kami tidak tahu. Kami hanya tahu kasih sayangnya bagai orang tua yang akan mengawasi kami selagi kami berada di dekatnya, serta pengabdian beliau puluhan tahun di dunia tari tradisional dan Sanggar Putih Melati. 

Perkiraan kami umur beliau kini mencapai 70 tahun, itu berarti sekitar separuh abad beliau mengabdikan diri di bidang tari dan sempat juga mengajar di SD. Tari bukanlah bidang pembelajaran profesional. Tapi didikan dan disiplin yang diterapkan secara tak sadar membentuk karakter anak perempuan, tumbuh menjadi wanita dewasa yang sekaligus mencintai dan melestarikan budayanya.

Mengajar dan mendidik adalah hal yang berbeda. Beliau menerapkan keduanya tanpa berharap dukungan materi berlebih dan hidup dengan prinsip teguh. Senyum dan tawa beliau adalah segalanya. Terima kasih kak Wardi atas pengabdianmu dalam separuh abad.


***

Saturday 31 May 2014

Atapupu, Kasih tak Berbatas dari Perbatasan

Atapupu, NTT. 
Sebelum memasuki ke Negara ASEAN termuda, Timor Leste, singgahlah sejenak di wilayah Atapupu. Ada bahasa di Timor yang mengartikan Atapupu sebagai panggilan untuk orang yang dituakan atau sesepuh. Atapupu, bisa ditempuh sekitar setengah jam dari Atambua dengan kendaraan bermotor, merupakan kota kecil yang tenang dan damai. Masyarakatnya memilih untuk bertani atau menjadi nelayan.

Sabtu, Hari Pasar.
Meskipun pertanian belum berkembang, masih banyak warga memilih bercocok tanam sesuai musim atau bergantung pada hasil hutan. Misalnya saja di bulan april, anda bisa menemukan sayuran hijau seperti kangkung, bayam, tomat, aneka labu, bunga dan daun papaya, serta pucuk labu. Maka makanan yang kerap terhidang di rumah penduduk pun seputar sayuran tersebut.
Begitu juga dengan buah-buahan. Beberapa jenis buah hanya ada pada bulan tertentu dan harus diambil dari hutan di atas bukit. Misalnya saja buah Laja, sebutan untuk buah merah lonjong yang berumpun seperti anggur, berkulit tipis seperti leci tapi bertekstur seperti kain beludru. Sementara isi dan rasanya mirip sekali dengan buah markisa yang banyak biji, berlendir dan agak masam. Buah ini hanya ada di bulan maret – april dan tumbuh sebagai parasit di pepohonan tinggi di hutan-hutan NTT.
buah Laja
Hari sabtu merupakan hari pasar di Atapupu. Di atas pukul 8 pagi, pasar semakin ramai dengan pedagang. Mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, pakaian, peralatan dapur, hingga alat elektronik. Sebagian pedagang merupakan pedagang keliling yang menggunakan mobil dengan bak terbuka, yang singgah ke kota-kota di hari-hari yang berbeda. Di Atapupu hari pasar ada setiap sabtu pagi. Pasar akan ramai hingga matahari meninggi. Kadang pun hingga sore hari. Pasar digelar di sebuah lapangan luas tak jauh dari tempat pelelangan ikan di Atapupu.
Maka, anda bisa menemukan pelbagai hasil kebun maupun pernak-pernik kebutuhan dapur dan rumah tangga. Yang paling berkesan, anda akan sangat mudah menemukan senyum orang timor. Dari anak-anak, hingga orang tua. Tak cuma di pasar. Tapi juga di jalanan. 
Anak-anak yang berangkat misa pagi atau ke sekolah, akan berteriak “Selamat pagi….!!!” Dengan senyum dan semangat ketika anda lewat. Mereka tahu orang asing ataupun pendatang. Apalagi waktu itu saya berjalan dengan salah satu pemuka agama katholik, Romo Yoris. Maka seakan seperti semut, setiap bertemu orang kami pasti berhenti. Banyak yang memberi salam kepada Romo dan tersenyum kepada kami. Damai terasa di perbatasan.
Pasar Sabtu Atapupu seakan cuma sepetak lebarnya. Mungkin tidak sampai setengah dari luas lapangan bola di senayan. Aneka kebutuhan dapur digelar di atas tanah beralas terpal atau kain tipis. Jangan berpikir mereka akan menggunakan timbangan disini. Tapi ukuran gelas atau kaleng tertentu. Misalnya saja cabai padi, sejenis cabai yang ukurannya lebih kecil dari rawit, ditata di atas piring-piring untuk dijual. Sementara sayuran seperti pucuk labu akan disatukan beberapa batang yang kemudian diikat. Tapi yang jelas pasar tidak sekedar tempat transaksi jual beli tapi juga ajang pertemuan.
Begitu mudah mendekati warga hanya lewat kamera. Klik! Warga pun tersenyum malu di depan kamera. Anak-anak dan para ibu akan tertawa tersipu menutup giginya yang memerah karena sirih pinang, ketika ditunjukkan layar foto hasil jepretan wajah mereka.
Nelayan Atapupu
Sementara orang dewasa sibuk dengan transaksi jual beli, anak-anak bebas bermain di seputar pasar hingga ke tepi pantai tempat pelelangan ikan. Anda bisa melihat anak-anak makan dengan santai duduk di pasir berhadapan kayu bakar dengan tangan memegang seekor ikan bakar yang diletakkan di atas daun. Ikan, menjadi santapan pokok yang bisa dimakan kapan saja di Atapupu karena laut masih ramah memberikan hasilnya yang melimpah.
Ikan, menjadi hasil laut yang seakan tidak pernah habis. Tempat pelelangan ikan setiap pagi akan ramai dengan perahu-perahu tradisional yang membawa ikan-ikan laut. Penyimpanan ikan pun minim menggunakan es untuk menjaga kesegarannya. Ikan-ikan sebagian besar dikirim ke pusat kota seperti atambua dan wilayah sekitarnya. Nelayan biasanya lelaki muda warga atapupu. Sementara para orang tua dan ibu menjadi kuli angkut dan memilah ikan yang baik untuk dikirim ke atambua.

Wisata Pantai
Jika hasil lautnya melimpah, Atapupu pun dilengkapi dengan pantai yang indah. Bagi masyarakat sekitar pantai sudah seperti halaman belakang rumah. Tapi bagi saya yang orang kota, pasir putih, air laut gradasi biru, horizon batas laut dan langit, serta dilengkapi gulungan awan melukis langit biru tanah timor adalah pemandangan yang memanjakan mata.
Cukup naik motor 5 menit dari Paroki Stella Maris, pantai dengan dataran pasir putih bisa dinikmati. Tapi jangan berharap tepi pantai sudah dilengkapi fasilitas wisata pantai pada umumnya. Bahkan toilet saja sepertinya masih harus menumpang di rumah warga sekitar. Setidaknya duduk di atas dahan pohon kelapa yang sedikit mendatar di atas pasir putih sambil selonjor kaki diterpa semilir angin, cukup memuaskan dan melengkapi perjalanan ketika singgah di wilayah perbatasan tanah timor.
Apalah arti kepulauan tanpa pantai indah dan jernih. Dijamin, semakin anda pergi ke wilayah timur Indonesia, pantai indah bertebaran untuk dinikmati hingga anda tidak punya kata yang bisa mewakili keindahan tersebut.

Maraknya Penyelundupan
Dekat dengan dermaga pelabuhan dan sebelum memasuki perbatasan Indonesia – Timor Leste, singgahlah ke Paroki Stella Maris dan bertemu dengan dua Pastur bernama Romo Maxi dan Romo Yoris.
Selain warga yang mayoritas menganut Katholik taat, kehadiran dua Romo ini merupakan saksi dari pahit getirnya eksodus pengungsi Timor Timur sebelum menjadi Negara Timor Leste. Sebagai orang yang paling disegani, Romo Maxi masih ingat betul bagaimana saudara saling bunuh saudara sebelum Timor Leste merdeka. Kadang Romo Maxi terdiam dan berujar dengan suara lirih ketika bercerita ulang bagaimana perang hanya menimbulkan korban dan luka yang mendalam.
Kondisi perekonomian masyarakat pun tidak bisa dibilang semakin membaik. Kurangnya lapangan kerja dituding menjadi keabsahan ragam tindakan illegal seperti penyelundupan. Misalnya saja bahan bakar minyak. Penyelundupan dilakukan dari wilayah Kupang menuju Timor Leste. Dalam sehari, para penyelundup ini bisa mendapatkan uang 1 hingga 5 juta.
After Misa Romo Yoris
“Tapi yang membingungkan, kenapa mereka tetap miskin ya?” ujar Romo Yoris sambil tertawa renyah.
Tak jarang, Romo Yoris kadang dibuat kesal dengan suara knalpot motor para penyelundup yang melewati gereja, mengganggu misa di pagi hari. Belum lagi suara klakson motor yang terdengar keras disertai deru gas motor yang membuat tuli telinga Jemaah gereja. Maka suatu hari, Romo Yoris pun nekat keluar gereja dengan masih mengenakan jubah putih misa. Ia berdiri di pinggir jalan menunggu pengendara sepeda motor yang bising lewat.
Dan ketika salah satu pengendara motor itu lewat, Romo berjalan ke tengah jalan dan mengacungkan lima jari telapak kanannya ke depan wajahnya seraya berujar,
“Stop!”
Romo ingin sekali melihat wajah para penyelundup dibalik helm yang dikenakan dan hanya berniat memberi peringatan agar memelankan kecepatan motor ketika melintasi gereja.
Tapi alangkah terkejutnya Romo, ketika suatu hari ia mendapati seorang pengendara dengan bertubuh besar, bercelana pendek, kaos agak kumal, lengkap dengan derigen bbm di samping kanan, kiri dan belakang motor. Ketika pengendara tersebut membuka helmnya, Romo terkejut bahwa pengendara itu seorang wanita separuh baya yang sudah punya anak 5 dan jemaat gereja.
“Astaga umatku”, ujar Romo dalam hati.
Si ibu pun tidak gentar ketika membuka helm dan dengan wajah datar berucap, “Salam, Romo. Selamat pagi.” Seraya meraih jemari Romo untuk menciumnya selayaknya meminta berkah.
Sesaat Romo pun terkesiap dan tersadar, “Mama….apa kabar? Kenapa tidak pernah lagi ke gereja? Kalau jalan lewat gereja pelan-pelan..”
Romo pun seraya tertawa terbahak-bahak usai bercerita.

Romo Maxi
Tapi di luar itu semua, keramahan dan kehangatan di perbatasan ini membuat saya merasa punya saudara. Beda latar belakang agama ataupun suku, tidak membuat saya merasa dibedakan. Kami sama. Kami saudara. Selalu ada pintu yang terbuka dan tangan hangat Romo yang menerima kedatangan kami. Kapan pun. Bahkan keinginan terkecil saya pun didengar dari hati mereka yang paling dalam. Di hari terakhir saya pamit, Romo Maxi memberikan selendang panjang bernuansa merah seraya berujar, "Saya mendengar nona ingin selendang tenun merah. Saya punya stok. Ambillah untuk oleh-oleh."
Sementara Romo Yoris keluar dengan 2 kain tenun, "Prima..berikan satu untuk ibumu, satu untuk dirimu."
I was born moslem and until now I still believe in Islam. Tapi kasih Romo dan suster di perbatasan seakan tidak bisa membendung airmata saya ketika berpisah. Sejak kecil saya jarang menangis. Tapi saya tahu siapa yang tulus memberi, siapa yang ingkar janji. Romo Maxi dan Romo Yoris mengajarkan saya akan arti kasih dan tulus itu sebenarnya. Dan dalam hati, hingga kini, sampai nanti, saya selalu merindukan tanah perbatasan itu meski jarang tersentuh pemerintah. Bahkan ketika menulis ini pun mata saya seakan penuh dengan air yang ingin meluap karena rindu dengan pelukan hangat mereka. Meski tidak ada darah saudara, beda agama, beda adat, tapi saya dianggap saudara dalam
arti yang sebenar-benarnya.

Atapupu. 
Sebuah wilayah kecil selain Belu, yang menjadi wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Sempat terabaikan. Bahkan mungkin tak dikenal atau tercantum di buku sejarah. Tapi saya menggaransi, tidak satu pun warga disini abai terhadap mereka yang datang meminta tolong.

Salam hangat untuk Atapupu dan para Romo di perbatasan untuk kasih yang tak berbatas.

(end)

Thursday 29 May 2014

Surga di Sumba


Karang di atas Danau Weikurei
Di Sumba Barat, atap rumah menjulang tinggi bukan sekedar ciri khas budaya tapi juga cermin hubungan manusia dengan Tuhan sekaligus status sosial pemilik rumah. Selain rumah, Sumba Barat tawarkan kolam renang alam dengan dinding batu karang hitam dan gradasi biru air yang jauh dari kebisingan kota. Sembunyi sebentar ke pulau ini tidak ada salahnya karena manusia dan alam tawarkan sebuah harmoni khas timur nusa.


Desa Adat di Atas Bukit
Memasuki kecamatan Loli, singgahlah sebentar ke sebuah desa Adat yang terletak di salah satu sudut dataran tinggi di Sumba Barat. Desa Praijing. Berjalan kaki menapaki tangga licin berlumut cukup terjal bila anda mendaki dengan peralatan foto lengkap. Tapi yakinlah semuanya akan terbayar ketika anda berada di puncak.
Desa praijing terdiri dari beberapa rumah berarsitektur khas sumba, dengan atap yang tinggi mengerucut di puncak yang terbuat dari daun alang-alang yang dikeringkan dan dianyam. Ornamen tiang pancang rumah biasanya terbuat dari kayu keras yang kuat. Meski ada beberapa rumah sudah mengganti dengan ubin ataupun keramik. Di bagian bawah rumah atau di dataran yang lebih rendah, biasanya ada kandang khusus ternak. Mulai dari kuda, kerbau, babi dan ayam.
Desa Praijing
Ada beberapa spot seperti kuburan batu dan ornamen patung batu yang tidak boleh difoto pengunjung karena dianggap keramat. Tapi jangan segan menyapa ‘halo’ kepada para warga yang duduk di teras rumah melihat anda melintas. Karena mereka akan membalas senyum anda dan mempersilakan anda menikmati pemandangan ataupun memotret mereka. Sekilas mereka akan berbisik kepada guide “Jawa kah?”
Kata ini janganlah diartikan sebagai bentuk rasis, tapi lebih kepada perspektif mereka bahwa kebanyakan turis domestik, tak terkecuali dari ibukota, dianggap sama semua berasal dari tanah jawa. Sementara anak-anak terkadang malu-malu menatap anda dari balik punggung ibunya. Ada pun yang berani menatap mata anda berkata lirih, “gula?”
Kata ini dimaksudkan anda membawa permen untuk mereka. Maklumlah dataran tinggi desa ini sedikit jauh dari kota. Dan gula atau permen menjadi dambaan para bocah ini bila ada pengunjung datang ke desa mereka.
Desa praijing termasuk ke dalam desa adat yang ramah dengan pengunjung. Dalam artian para warganya tidak seenaknya meminta uang kepada pengunjung, ataupun main rampas barang pengunjung. Sehingga banyak tour guide menyarankan turis untuk sejenak berkunjung ke desa ini, bila ingin melihat dari dekat kehidupan tradisional masyarakat sumba barat. Misalnya saja, setiap rumah akan ramai dengan para ibu yang duduk dengan kaki selonjor sambil menenun kain. Atau seorang nenek sedang duduk bersandar di tiang teras rumah, sambil menumbuk campuran pinang, sirih dan kapur, sebelum dikunyah.
Beri Magi
Di salah satu rumah, saya terpesona dengan mata seorang anak, wiwin namanya. Mata itu begitu bulat dengan alis tebal tapi dengan rahang oval sempurna dan kulit coklat mengkilat. Sang nenek berkata, ayah si anak berasal dari tanah India yang bertemu dengan anak perempuannya (ibu si anak) saat bekerja di Malaysia. Rupanya warga sini sudah mengenal dan berani kerja di luar negeri.
Tapi sang nenek pun tak kalah menarik. Lukisan bermotif di lengan kanannya mengalihkan perhatian saya. Nenek bernama Beri Magi itu berujar, dengan potongan kata berbahasa Indonesia seadanya, coretan bermotif itu sejenis tato yang ditorehkan sejak ia masih kecil. Kata pak Pieter, tour guide kami, tato itu menggunakan duri jeruk yang dituliskan ke kulit anak perempuan sebagai penanda telah punya calon suami sehingga tidak diambil ataupun diperkosa penjajah. Menyusuri belasan rumah adat desa Praijing ternyata terlalu banyak cerita yang tersimpan.
Terakhir, naiklah ke atas bukit di penghujung desa, lalu berbaliklah. Anda akan melihat belasan rumah adat beratap ilalang membubung tinggi, berjajar rapih, dengan latar belakang langit biru dan awan berarak. Angin sepoi akan membelai raut anda seakan membawa pesan damai dalam kesunyian.
Bocah Desa Praijing
Dari desa Praijing berjalanlah ke arah barat daya. Sekitar dua jam perjalanan, anda akan tiba di lingkungan seminari KPA Ivan Zgatik. Disana ada museum budaya Sumba yang menyimpan benda dan rahasia tanah Sumba hasil penelitian seorang pastor.

Senyum Pastor Robert Ramone, CSsR, mengembang ketika menerima rombongan kami datang di Rumah Budaya, Weetabula, Sumba Barat Daya. Dengan perlahan Pastor mengajak kami berkeliling di sebuah rumah berisikan benda-benda yang dikumpulkannya dari pelosok pulau Sumba.

Museum Budaya Potret Sumba
Dung…dung..dung… Pastor Robert menabuh tambur 3 kali ketika kami masuk rumah budaya. “Selamat datang..” ujarnya ramah. Pastor memadu sendiri siapa saja tamu yang singgah ke museum yang dibangun di atas tanah seluas 45 hektar. Museum ini dibuat segi empat mirip dengan rumah adat dan tradisional yang masih terpapar rapih di beberapa desa di pulau sumba. Ciri khas utamanya adalah atap rumah yang berasal dari anyaman tanaman alang-alang kering.
Padre Robert
Namun untuk museumnya, P. Robert memodifikasi atap alang-alang dengan membuat anyaman model bali yaitu setebal 30 cm yang diperkirakan lebih awet hingga 30 tahun. Sementara pucuk atap yang mirip menara tinggi menjulang diartikan sebagai hubungan manusia yang harus ingat kepada Tuhan, sekaligus status sosial pemilik rumah. Ketinggian menara atap disesuaikan dengan letak geografis rumah dibangun. Semakin tinggi keberadaan tanah tempat rumah dibangun, yaitu di pegunungan, atap akan dibuat semakin pendek. Hal ini untuk menghindari terpaan angin gunung yang kencang. Biasanya atap menara yang tinggi dibangun pada rumah-rumah yang terletak dekat dengan pantai.
Selain atap, P. Robert menerangkan batu dan kayu pancang fondasi rumah. Batu diambil dari gunung merapi dan samudera Hindia. Sementara kayu loteng berasal dari batang pinang. Beda lagi dengan 4 tiang pancang yang punya cerita sendiri karena dalam adat Sumba tiang pancang diberikan oleh orang yang berbeda-beda dan punya makna.
“Tiang pertama sebelah kiri diberikan oleh anak sulung. Sementara tiang pertama kanan oleh anak kedua. Begitu seterusnya sesuai urutan…” Ujar P. Robert. Itu kenapa di beberapa desa tiang pertama sebelah kiri bisa menjadi pemicu perang saudara bila dipindahkan tanpa izin si pemberi atau anak sulung. Selain itu, ada 3 fase ukiran pada tiang pancang yaitu ayam, piring makan ternak dan babi. Tiga unsur ini dianggap sebagai berkah yang tak berkesudahan. Apalagi ayam dan babi merupakan ternak yang penting karena diperlukan dalam upacara adat ataupun menghormati tamu.
Museum Budaya Sumba
Di museum ini anda juga bisa menemukan benda budaya lain yang dikumpulkan Pastor Robert dari pelbagai wilayah di Sumba. Misalnya saja 2 kubur batu yang sudah berusia sekitar 500 tahun atau pelbagai kain tenun muda (berusia di bawah 20 tahun) dan kain tenun tua yang usianya mencapai 60 tahun dengan motif beragam dan bermakna tertentu.
Rata-rata motif kain berupa simbol binatang seperti naga dan buaya yang mewakili simbol raja, angsa simbol kepemimpinan, hingga motif binatang singa yang disebut hasil adaptasi budaya luar yang datang ke sumba lewat pendatang. Kain asli tradisional sumba dibuat dari kapas pilihan yang dipintal dengan cara tradisional sebelum ditenun dengan alat tradisional pula. Maka kualitasnya pun tidak usah diragukan lagi. Pastor Robert mencontohkan jenazah seorang Raja di Sumba Timur pernah disemayamkan di rumahnya (tanpa dikubur) selama 17 tahun dengan hanya dililit 50 lembar kain dan sama sekali tidak menimbulkan bau busuk.
Di akhir cerita, Pastor Robert menunjukkan tanda huruf capital ‘C’ yang berada tepat di tengah bangunan museum, sejajar dengan tanda yang sama yang berada di tengah halaman museum. Sejatinya huruf ini adalah nama ordo yang mewakili Pastor Robert. Tapi pastor lebih menyukai bila diartikan sebagai ‘cinta’.
“Saya ingin semua orang datang dengan cinta, membawa cinta dan kembali dengan cinta.”

Weikuri, Kolam Renang Alami Sumba
Danau Weikurei
Sekitar satu jam perjalanan dari museum budaya, anda bisa tiba di sebuah danau. Orang sekitar menyebutnya “Weikuri”. Danau ini dikeliling tebing karang terjal berwarna gelap, dengan air jernih bergradasi biru – toska – hijau. Orang sekitar menjadikannya kolam renang alami tempat berwisata keluarga di akhir pekan. Di sisi tebing disediakan tikar bagi pengunjung untuk bersantap siang sambil menikmati pemandangan air jernih nan tenang.
Meski jalan menuju tempat ini terbilang cukup sulit dan tidak ada petunjuk jalan. Beruntunglah jika anda bertemu guide dan supir yang mengerti betul lokasi ini. Karena keduanya tidak hanya menunjukkan kolam indah ini, tapi juga mengajak anda ke atas bukit di salah satu sudut kolam karang.
Anda bisa mengitari sisi kiri kolam dan bertemu dengan ladang rumput luas yang beralaskan karang gelap keras. Dari sini anda bisa melihat langsung lautan dan berasa dekat dengan langit. Dari sini pula anda bisa melihat deburan ombak yang berupaya menerjang karang, yang membatasi laut dan kolam weikuri. Dijamin pemandangan disini bahkan lebih indah dari tebing karang di pulau dewata, Bali.

Dari sini anda bisa bergeser ke daerah kodi, tepatnya di kecamatan Bondo Kodi. Kurang dari satu jam anda akan tiba di kampung Ratenggaro. Sebuah desa adat yang berada tepat di pesisir pantai Pero.

Desa Adat di Tepi Pantai
Desa Ratenggaro
Tidak berbeda desa Praijing, desa adat Ratenggaro juga memiliki atap ilalang khas yang menjulang tinggi. Bahkan tingginya lebih dari satu meter. Menurut Pastor Robert, semakin rendah dataran tempat pemukiman maka atap rumah akan semakin tinggi atapnya karena untuk menghalau hawa panas masuk ke dalam rumah. Seni arsitekturnya pun sekilas tampak sama. Hanya saja sejumlah kubur batu tampak jelas terlihat di pinggir pantai, bukan di antara jajaran rumah adat kampung Ratenggaro.
Ciri khas perkampungan adat hanya dua hal, yaitu rumah beratap ilalang tinggi dan kubur batu di depan rumah. Dua hal ini melambangkan dua hal, yaitu peringatan setiap makhluk pasti akan mati, dan setiap manusia diciptakan untuk membangun kehidupan baru. Inilah kepercayaan asli Marapu, warga Sumba.
Ratenggaro sendiri ada yang menyebutnya Rategaura, berasal dari dua kata yaitu Rate yang berarti kuburan, dan Gaura yang merupakan nama orang pertama yang menghuni kampung ini. Awalnya kampung ini berada di tepi pantai Pero, tempat kubur batu banyak ditemukan. Namun karena abrasi, warga terpaksa memindahkan rumahnya ke sisi lain pantai.
Sunset di Pantai Pero
Sisa kubur batu di tepi pantai Pero menjadi lokasi foto yang diminati fotografer karena anda bisa melihat lingkungan kampung Ratenggaro dengan pemandangan tepi pantai yang seakan menghiasi tepi halaman depan kampung.

Pantai Pero sendiri merupakan lajur tepi pantai panjang di daerah Kodi. Anda bisa berjalan ke sisi barat untuk lebih dekat mengabadikan matahari terbenam dari sebuah tebing karang tinggi tak jauh dari kampung Ratenggaro. Dengan catatan cuaca mendukung. Karena jika tidak kawanan mega akan berarak menutupi matahari yang akan tenggelam ke horizon.
(end)

Wednesday 28 May 2014

Ketika Inggris Berimaji dengan Janji


“Logic will get you from A to Z; imagination will get you everywhere.”
(Albert Einstein)

Kentang.
Penganan favorit sejak kecil dan menjadi makanan cemilan ketika saya sulit makan. Terutama kentang goreng ataupun keripik kentang. Bersama kudapan ini jugalah saya sering berkhayal untuk kehidupan selanjutnya. Setiap kunyahan diiringi bunyi ‘kriuk’ nan renyah seakan memompa oksigen ke otak dan menimbulkan simultan-simultan di luar akal sehat (saat itu) yang tentunya kadang bisa diwujudkan tapi kadang juga hanya berakhir di sebuah tulisan curhat blog.

Beranjak dewasa dikelilingi kecanggihan teknologi tentunya banyak cara mendapatkan cemilan kentang. Salah satunya buatan mister potato. Keripik tipis renyah yang setiap kepingannya sulit membuat untuk berhenti dan (tentunya) berkhayal. Inggris seperti menari dalam imaji tengah menanti kehadiran saya.

A Fairy Tale Country
Inggris buat saya seperti negeri dongeng yang kerap saya baca ketika kanak-kanak. Gedung dan bangunan bersejarah yang terawat dengan ciri khas ornamen dan keunikan tersendiri seperti letak langit-langit yang tinggi, ukiran, lukisan, hingga menara menjulang.

Lengkap dengan kisah keluarga kerajaan yang menjadi perbincangan dan konsumsi gosip internasional. Mulai dari cara berjalan hingga baju keluarga istana kerap ditiru dan menjadi tren terbaru, atau bahkan dikritik karena dianggap saru.

Inggris, negara dengan luas setengah dari luas Indonesia, tapi mampu menjadi negara penjelajah sekaligus penjajah, tetap eksis dengan gaya monarki meski kerap dicela sana-sini. Saya harus ke Inggris bukan sekedar untuk narsis tapi negeri dongeng khayalan masa kecil ini menunggu saya dengan setia karena ingin saya foto dengan gaya negeri pribumi Indonesia. When east meets west.

Big Ben, Big Dream
photo by: http://www.britainexpress.com/
Tempat pertama yang minta saya kunjungi adalah Big Ben. Sebuah menara jam besar yang pada mei 2014 usianya sudah 155 tahun, dengan popularitasnya tidak kalah tenar dibanding para pangeran dan putri yang tinggal di Istana Buckingham. Menara ini juga menjadi ikon penanda setting London pada setiap video atau film. Ini yang kujanjikan pada Big Ben bila bertemu dengannya.

Saya akan membuat foto menghadap menara, lalu kamera diambil dari belakang dengan foreground shoot. Jadi yang terlihat hanya punggung saya tengah menatap menara jam. Itu seperti “Hai Big Ben, I’m here and made my promise to see you. Do you miss me?

photo  by: http://roadsofstone.com/
Dan saya harus naik ke atas paling puncak dari Big Ben ini (semoga ada lift. Amin.) melihat luas pemandangan kota dari puncak menara. Big Ben pengen saya berfoto di dalam puncak menara. Pernah nonton film Hugo? Seorang anak yang tinggal di dalam menara jam? Nah, Big Ben menjanjikan visual mesin dan roda gigi jam yang berputar lebih indah daripada yang disajikan di film Hugo. Big Ben bilang, ini tantangan buat saya bisa dapat foto keren atau tidak diantara roda gigi mesin jam yang berputar.

Dari sini, saya harus berlari mengejar matahari terbenam dari tepi sungai Thames. Saya janji bertemu seseorang disini. Hanya sebentar menyapa. Yaitu ketika matahari mulai terbenam. Saya tidak bisa bilang orangnya karena itu rahasia. Yang jelas dia sangat berarti dalam hidup saya karena ada bagian dari hidup saya yang harus saya berikan kepadanya yang divonis hidup singkat. Dia bilang setelah matahari terbenam dia mau menggandeng saya berjalan ke London Eye dan menunjukkan sesuatu yang tidak mungkin didapat oleh orang-orang yang berkunjung ke sini. Ada sesuatu yang harus dia berikan kepada saya dari atas ketinggian 135 meter atau ketika ferris wheel raksasa ini berada di puncak.

7 Icon 7 Miracle
Big Ben hanya satu dari 7 ikon di Inggris yang wajib saya kunjungi. Katanya kalau tidak ditemui, saya bisa kualat. Dari Big Ben, ada istana Buckingham yang maksa banget untuk saya datangi.

Terdiri dari 775 ruangan, dengan 19 ruang utama dan 52 kamar tidur utama dan tamu, 188 kamar tidur staf istana, 92 ruangan kantor, 78 kamar mandi (*tarik nafas) kebayang kan kalau mengelililngi istana ini. Tadinya saya diminta bawa gaun putri ala Barbie untuk foto keluarga disini. Tapi gaun itu pasti menguras ruang di koper. Jadi saya tawar gimana kalau saya pakai kebaya saja. Lebih Indonesia dan tidak usah pakai sanggul. Ternyata keluarga istana setuju.
photo by: http://www.visitlondon.com/

Janji saya, setiap ruang di istana akan diabadikan. Mulai dari gerbang, tangga, lobi, selasar, jendela, pintu sampai taman dan labirin, wajib dipotret menandakan 'east meets west' terhadap kebaya yang saya gunakan soalnya mereka bilang sudah bosan dengan tipikal gaun eropa. Pengen sesuatu yang beda. Pihak istana bilang saya harus bawa batik dan kebaya karena itu yang membedakan saya dengan orang-orang Indonesia yang sebelumnya berkunjung ke istana. Saya pun dijanjikan minum teh sore di ruangan ini lho karena Ratu suka sekali teh yang saya bawakan khusus dari dataran tinggi di daerah selatan bandung, Jawa Barat.

Oh iya, ke sini harus bawa saya karena cuma sama saya pihak istana mau memberikan akses pintu rahasia. Iya. Pintu rahasia. Pintu ini melewati lorong-lorong dengan penerangan obor yang menyala ketika saya (ingat harus saya) menjentikkan jari. Lalu ada kode rahasia. Disini kita bisa masuk ke ruangan para putri dan pangeran ketika bersembunyi. Keren kan? Terus, kuncinya ada pada orang yang harus saya temui ketika matahari terbenam di tepi sungai Thames.

Dari istana Buckingham, saya harus membawa ‘sesuatu’ lagi menuju Westminster Abbey. Sebuah masterpiece bangunan berarsitektur khas yang dibuat pada abad ke-13 hingga ke-16 dan kerap disebut sebagai ‘Parish Church of the World.” Tapi syaratnya saya harus melewati ‘Abbey Road’ dan ‘221B Baker Street’.

photo by: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/
Abbey Road tidak sekedar dikenal dengan jalannya yang menjadi cover ‘The Beatles’ yang sedang menyeberang jalan, tapi juga menjadi legenda sebagai studio musik ke-11 di Inggris. Terakhir, musisi band Indonesia, GIGI, melakukan rekaman disini. Nah saya harus menyeberang jalan persis yang dilakukan personel The Beatles untuk mendapat petunjuk pada salah satu tiang lampu di pinggir jalan ini yang akan memberikan petunjuk selanjutnya menuju 221B Baker Street.

221B Baker Street dikenal sebagai alamat detektif Sherlock Holmes, karakter yang dibuat oleh Sir Arthur Conan Doyle. Tempat ini punya ciri khas dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Di sinilah saya sedang ditunggu seseorang (lagi) untuk menyampaikan ‘sesuatu’ yang diberikan seseorang yang saya temui di tepi sungai Thames. Oh iya, pihak 221B Baker Street juga berjanji akan mengajak saya ke ruang rahasia Holmes. Tapi syaratnya harus bawa saya.

Kesimpulan : kenapa saya harus ke Inggris? Karena banyak rentetan ‘sesuatu’ yang harus saya selesaikan dari sejumlah orang yang harus saya temui di pelbagai tempat yang ada di Inggris. Bebas sih bilang saya hanya berkhayal, tapi satu hal yang saya yakini sejak dulu bahwa apa yang kita hadapi hari ini adalah apa yang kita khayalkan di masa lalu. Mimpi itu adalah realita yang tertunda. Sampai jumpa di Inggris, kawan.