Sebelum memasuki ke Negara ASEAN termuda, Timor Leste, singgahlah sejenak di
wilayah Atapupu. Ada bahasa di Timor yang mengartikan Atapupu sebagai panggilan
untuk orang yang dituakan atau sesepuh. Atapupu, bisa
ditempuh sekitar setengah jam dari Atambua dengan kendaraan bermotor, merupakan
kota kecil yang tenang dan damai. Masyarakatnya memilih untuk bertani atau
menjadi nelayan.
Sabtu, Hari Pasar.
Meskipun
pertanian belum berkembang, masih banyak warga memilih bercocok tanam sesuai
musim atau bergantung pada hasil hutan. Misalnya saja di bulan april, anda bisa
menemukan sayuran hijau seperti kangkung, bayam, tomat, aneka labu, bunga dan
daun papaya, serta pucuk labu. Maka makanan yang kerap terhidang di rumah
penduduk pun seputar sayuran tersebut.
Begitu juga
dengan buah-buahan. Beberapa jenis buah hanya ada pada bulan tertentu dan harus
diambil dari hutan di atas bukit. Misalnya saja buah Laja, sebutan untuk buah
merah lonjong yang berumpun seperti anggur, berkulit tipis seperti leci tapi
bertekstur seperti kain beludru. Sementara isi dan rasanya mirip sekali dengan
buah markisa yang banyak biji, berlendir dan agak masam. Buah ini hanya ada di
bulan maret – april dan tumbuh sebagai parasit di pepohonan tinggi di
hutan-hutan NTT.
buah Laja |
Hari sabtu
merupakan hari pasar di Atapupu. Di atas pukul 8 pagi, pasar semakin ramai
dengan pedagang. Mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, pakaian, peralatan dapur,
hingga alat elektronik. Sebagian pedagang merupakan pedagang keliling yang
menggunakan mobil dengan bak terbuka, yang singgah ke kota-kota di hari-hari
yang berbeda. Di Atapupu hari pasar ada setiap sabtu pagi. Pasar akan ramai
hingga matahari meninggi. Kadang pun hingga sore hari. Pasar digelar di sebuah
lapangan luas tak jauh dari tempat pelelangan ikan di Atapupu.
Maka, anda bisa
menemukan pelbagai hasil kebun maupun pernak-pernik kebutuhan dapur dan rumah
tangga. Yang paling berkesan, anda akan sangat mudah menemukan senyum orang
timor. Dari anak-anak, hingga orang tua. Tak cuma di pasar. Tapi juga di
jalanan.
Anak-anak yang berangkat misa pagi atau ke sekolah, akan berteriak
“Selamat pagi….!!!” Dengan senyum dan semangat ketika anda lewat. Mereka tahu
orang asing ataupun pendatang. Apalagi waktu itu saya berjalan dengan salah
satu pemuka agama katholik, Romo Yoris. Maka seakan seperti semut, setiap
bertemu orang kami pasti berhenti. Banyak yang memberi salam kepada Romo dan
tersenyum kepada kami. Damai terasa di perbatasan.
Pasar Sabtu
Atapupu seakan cuma sepetak lebarnya. Mungkin tidak sampai setengah dari luas
lapangan bola di senayan. Aneka kebutuhan dapur digelar di atas tanah beralas
terpal atau kain tipis. Jangan berpikir mereka akan menggunakan timbangan
disini. Tapi ukuran gelas atau kaleng tertentu. Misalnya saja cabai padi,
sejenis cabai yang ukurannya lebih kecil dari rawit, ditata di atas
piring-piring untuk dijual. Sementara sayuran seperti pucuk labu akan disatukan
beberapa batang yang kemudian diikat. Tapi yang jelas pasar tidak sekedar tempat
transaksi jual beli tapi juga ajang pertemuan.
Begitu mudah
mendekati warga hanya lewat kamera. Klik! Warga pun tersenyum malu di depan
kamera. Anak-anak dan para ibu akan tertawa tersipu menutup giginya yang
memerah karena sirih pinang, ketika ditunjukkan layar foto hasil jepretan wajah
mereka.
Nelayan Atapupu |
Sementara orang
dewasa sibuk dengan transaksi jual beli, anak-anak bebas bermain di seputar
pasar hingga ke tepi pantai tempat pelelangan ikan. Anda bisa melihat anak-anak
makan dengan santai duduk di pasir berhadapan kayu bakar dengan tangan memegang
seekor ikan bakar yang diletakkan di atas daun. Ikan, menjadi santapan pokok
yang bisa dimakan kapan saja di Atapupu karena laut masih ramah memberikan
hasilnya yang melimpah.
Ikan, menjadi
hasil laut yang seakan tidak pernah habis. Tempat pelelangan ikan setiap pagi
akan ramai dengan perahu-perahu tradisional yang membawa ikan-ikan laut.
Penyimpanan ikan pun minim menggunakan es untuk menjaga kesegarannya. Ikan-ikan
sebagian besar dikirim ke pusat kota seperti atambua dan wilayah sekitarnya. Nelayan
biasanya lelaki muda warga atapupu. Sementara para orang tua dan ibu menjadi
kuli angkut dan memilah ikan yang baik untuk dikirim ke atambua.
Wisata Pantai
Jika hasil
lautnya melimpah, Atapupu pun dilengkapi dengan pantai yang indah. Bagi
masyarakat sekitar pantai sudah seperti halaman belakang rumah. Tapi bagi saya
yang orang kota, pasir putih, air laut gradasi biru, horizon batas laut dan
langit, serta dilengkapi gulungan awan melukis langit biru tanah timor adalah
pemandangan yang memanjakan mata.
Cukup naik motor
5 menit dari Paroki Stella Maris, pantai dengan dataran pasir putih bisa
dinikmati. Tapi jangan berharap tepi pantai sudah dilengkapi fasilitas wisata
pantai pada umumnya. Bahkan toilet saja sepertinya masih harus menumpang di
rumah warga sekitar. Setidaknya duduk di atas dahan pohon kelapa yang sedikit
mendatar di atas pasir putih sambil selonjor kaki diterpa semilir angin, cukup
memuaskan dan melengkapi perjalanan ketika singgah di wilayah perbatasan tanah
timor.
Apalah arti
kepulauan tanpa pantai indah dan jernih. Dijamin, semakin anda pergi ke wilayah
timur Indonesia, pantai indah bertebaran untuk dinikmati hingga anda tidak
punya kata yang bisa mewakili keindahan tersebut.
Maraknya Penyelundupan
Dekat dengan dermaga
pelabuhan dan sebelum memasuki perbatasan Indonesia – Timor Leste, singgahlah
ke Paroki Stella Maris dan bertemu dengan dua Pastur bernama Romo Maxi dan Romo
Yoris.
Selain warga yang
mayoritas menganut Katholik taat, kehadiran dua Romo ini merupakan saksi dari
pahit getirnya eksodus pengungsi Timor Timur sebelum menjadi Negara Timor
Leste. Sebagai orang yang paling disegani, Romo Maxi masih ingat betul
bagaimana saudara saling bunuh saudara sebelum Timor Leste merdeka. Kadang Romo
Maxi terdiam dan berujar dengan suara lirih ketika bercerita ulang bagaimana perang
hanya menimbulkan korban dan luka yang mendalam.
Kondisi
perekonomian masyarakat pun tidak bisa dibilang semakin membaik. Kurangnya
lapangan kerja dituding menjadi keabsahan ragam tindakan illegal seperti
penyelundupan. Misalnya saja bahan bakar minyak. Penyelundupan dilakukan dari
wilayah Kupang menuju Timor Leste. Dalam sehari, para penyelundup ini bisa
mendapatkan uang 1 hingga 5 juta.
After Misa Romo Yoris |
“Tapi yang
membingungkan, kenapa mereka tetap miskin ya?” ujar Romo Yoris sambil tertawa
renyah.
Tak jarang, Romo
Yoris kadang dibuat kesal dengan suara knalpot motor para penyelundup yang
melewati gereja, mengganggu misa di pagi hari. Belum lagi suara klakson motor
yang terdengar keras disertai deru gas motor yang membuat tuli telinga Jemaah
gereja. Maka suatu hari, Romo Yoris pun nekat keluar gereja dengan masih
mengenakan jubah putih misa. Ia berdiri di pinggir jalan menunggu pengendara
sepeda motor yang bising lewat.
Dan ketika salah
satu pengendara motor itu lewat, Romo berjalan ke tengah jalan dan mengacungkan
lima jari telapak kanannya ke depan wajahnya seraya berujar,
“Stop!”
Romo ingin sekali
melihat wajah para penyelundup dibalik helm yang dikenakan dan hanya berniat
memberi peringatan agar memelankan kecepatan motor ketika melintasi gereja.
Tapi alangkah
terkejutnya Romo, ketika suatu hari ia mendapati seorang pengendara dengan
bertubuh besar, bercelana pendek, kaos agak kumal, lengkap dengan derigen bbm
di samping kanan, kiri dan belakang motor. Ketika pengendara tersebut membuka
helmnya, Romo terkejut bahwa pengendara itu seorang wanita separuh baya yang
sudah punya anak 5 dan jemaat gereja.
“Astaga umatku”,
ujar Romo dalam hati.
Si ibu pun tidak
gentar ketika membuka helm dan dengan wajah datar berucap, “Salam, Romo.
Selamat pagi.” Seraya meraih jemari Romo untuk menciumnya selayaknya meminta
berkah.
Sesaat Romo pun
terkesiap dan tersadar, “Mama….apa kabar? Kenapa tidak pernah lagi ke gereja?
Kalau jalan lewat gereja pelan-pelan..”
Romo pun seraya tertawa
terbahak-bahak usai bercerita.
Romo Maxi |
Tapi di luar itu
semua, keramahan dan kehangatan di perbatasan ini membuat saya merasa punya
saudara. Beda latar belakang agama ataupun suku, tidak membuat saya merasa
dibedakan. Kami sama. Kami saudara. Selalu ada pintu yang terbuka dan tangan
hangat Romo yang menerima kedatangan kami. Kapan pun. Bahkan keinginan terkecil saya pun didengar dari hati mereka yang paling dalam. Di hari terakhir saya pamit, Romo Maxi memberikan selendang panjang bernuansa merah seraya berujar, "Saya mendengar nona ingin selendang tenun merah. Saya punya stok. Ambillah untuk oleh-oleh."
Sementara Romo Yoris keluar dengan 2 kain tenun, "Prima..berikan satu untuk ibumu, satu untuk dirimu."
I was born moslem and until now I still believe in Islam. Tapi kasih Romo dan suster di perbatasan seakan tidak bisa membendung airmata saya ketika berpisah. Sejak kecil saya jarang menangis. Tapi saya tahu siapa yang tulus memberi, siapa yang ingkar janji. Romo Maxi dan Romo Yoris mengajarkan saya akan arti kasih dan tulus itu sebenarnya. Dan dalam hati, hingga kini, sampai nanti, saya selalu merindukan tanah perbatasan itu meski jarang tersentuh pemerintah. Bahkan ketika menulis ini pun mata saya seakan penuh dengan air yang ingin meluap karena rindu dengan pelukan hangat mereka. Meski tidak ada darah saudara, beda agama, beda adat, tapi saya dianggap saudara dalam
arti yang sebenar-benarnya.
Atapupu.
Sebuah
wilayah kecil selain Belu, yang menjadi wilayah perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste. Sempat terabaikan. Bahkan mungkin tak dikenal atau tercantum di
buku sejarah. Tapi saya
menggaransi, tidak satu pun warga disini abai terhadap mereka yang datang
meminta tolong.
Salam hangat
untuk Atapupu dan para Romo di perbatasan untuk kasih yang tak berbatas.
(end)
No comments:
Post a Comment