Saturday 31 May 2014

Atapupu, Kasih tak Berbatas dari Perbatasan

Atapupu, NTT. 
Sebelum memasuki ke Negara ASEAN termuda, Timor Leste, singgahlah sejenak di wilayah Atapupu. Ada bahasa di Timor yang mengartikan Atapupu sebagai panggilan untuk orang yang dituakan atau sesepuh. Atapupu, bisa ditempuh sekitar setengah jam dari Atambua dengan kendaraan bermotor, merupakan kota kecil yang tenang dan damai. Masyarakatnya memilih untuk bertani atau menjadi nelayan.

Sabtu, Hari Pasar.
Meskipun pertanian belum berkembang, masih banyak warga memilih bercocok tanam sesuai musim atau bergantung pada hasil hutan. Misalnya saja di bulan april, anda bisa menemukan sayuran hijau seperti kangkung, bayam, tomat, aneka labu, bunga dan daun papaya, serta pucuk labu. Maka makanan yang kerap terhidang di rumah penduduk pun seputar sayuran tersebut.
Begitu juga dengan buah-buahan. Beberapa jenis buah hanya ada pada bulan tertentu dan harus diambil dari hutan di atas bukit. Misalnya saja buah Laja, sebutan untuk buah merah lonjong yang berumpun seperti anggur, berkulit tipis seperti leci tapi bertekstur seperti kain beludru. Sementara isi dan rasanya mirip sekali dengan buah markisa yang banyak biji, berlendir dan agak masam. Buah ini hanya ada di bulan maret – april dan tumbuh sebagai parasit di pepohonan tinggi di hutan-hutan NTT.
buah Laja
Hari sabtu merupakan hari pasar di Atapupu. Di atas pukul 8 pagi, pasar semakin ramai dengan pedagang. Mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, pakaian, peralatan dapur, hingga alat elektronik. Sebagian pedagang merupakan pedagang keliling yang menggunakan mobil dengan bak terbuka, yang singgah ke kota-kota di hari-hari yang berbeda. Di Atapupu hari pasar ada setiap sabtu pagi. Pasar akan ramai hingga matahari meninggi. Kadang pun hingga sore hari. Pasar digelar di sebuah lapangan luas tak jauh dari tempat pelelangan ikan di Atapupu.
Maka, anda bisa menemukan pelbagai hasil kebun maupun pernak-pernik kebutuhan dapur dan rumah tangga. Yang paling berkesan, anda akan sangat mudah menemukan senyum orang timor. Dari anak-anak, hingga orang tua. Tak cuma di pasar. Tapi juga di jalanan. 
Anak-anak yang berangkat misa pagi atau ke sekolah, akan berteriak “Selamat pagi….!!!” Dengan senyum dan semangat ketika anda lewat. Mereka tahu orang asing ataupun pendatang. Apalagi waktu itu saya berjalan dengan salah satu pemuka agama katholik, Romo Yoris. Maka seakan seperti semut, setiap bertemu orang kami pasti berhenti. Banyak yang memberi salam kepada Romo dan tersenyum kepada kami. Damai terasa di perbatasan.
Pasar Sabtu Atapupu seakan cuma sepetak lebarnya. Mungkin tidak sampai setengah dari luas lapangan bola di senayan. Aneka kebutuhan dapur digelar di atas tanah beralas terpal atau kain tipis. Jangan berpikir mereka akan menggunakan timbangan disini. Tapi ukuran gelas atau kaleng tertentu. Misalnya saja cabai padi, sejenis cabai yang ukurannya lebih kecil dari rawit, ditata di atas piring-piring untuk dijual. Sementara sayuran seperti pucuk labu akan disatukan beberapa batang yang kemudian diikat. Tapi yang jelas pasar tidak sekedar tempat transaksi jual beli tapi juga ajang pertemuan.
Begitu mudah mendekati warga hanya lewat kamera. Klik! Warga pun tersenyum malu di depan kamera. Anak-anak dan para ibu akan tertawa tersipu menutup giginya yang memerah karena sirih pinang, ketika ditunjukkan layar foto hasil jepretan wajah mereka.
Nelayan Atapupu
Sementara orang dewasa sibuk dengan transaksi jual beli, anak-anak bebas bermain di seputar pasar hingga ke tepi pantai tempat pelelangan ikan. Anda bisa melihat anak-anak makan dengan santai duduk di pasir berhadapan kayu bakar dengan tangan memegang seekor ikan bakar yang diletakkan di atas daun. Ikan, menjadi santapan pokok yang bisa dimakan kapan saja di Atapupu karena laut masih ramah memberikan hasilnya yang melimpah.
Ikan, menjadi hasil laut yang seakan tidak pernah habis. Tempat pelelangan ikan setiap pagi akan ramai dengan perahu-perahu tradisional yang membawa ikan-ikan laut. Penyimpanan ikan pun minim menggunakan es untuk menjaga kesegarannya. Ikan-ikan sebagian besar dikirim ke pusat kota seperti atambua dan wilayah sekitarnya. Nelayan biasanya lelaki muda warga atapupu. Sementara para orang tua dan ibu menjadi kuli angkut dan memilah ikan yang baik untuk dikirim ke atambua.

Wisata Pantai
Jika hasil lautnya melimpah, Atapupu pun dilengkapi dengan pantai yang indah. Bagi masyarakat sekitar pantai sudah seperti halaman belakang rumah. Tapi bagi saya yang orang kota, pasir putih, air laut gradasi biru, horizon batas laut dan langit, serta dilengkapi gulungan awan melukis langit biru tanah timor adalah pemandangan yang memanjakan mata.
Cukup naik motor 5 menit dari Paroki Stella Maris, pantai dengan dataran pasir putih bisa dinikmati. Tapi jangan berharap tepi pantai sudah dilengkapi fasilitas wisata pantai pada umumnya. Bahkan toilet saja sepertinya masih harus menumpang di rumah warga sekitar. Setidaknya duduk di atas dahan pohon kelapa yang sedikit mendatar di atas pasir putih sambil selonjor kaki diterpa semilir angin, cukup memuaskan dan melengkapi perjalanan ketika singgah di wilayah perbatasan tanah timor.
Apalah arti kepulauan tanpa pantai indah dan jernih. Dijamin, semakin anda pergi ke wilayah timur Indonesia, pantai indah bertebaran untuk dinikmati hingga anda tidak punya kata yang bisa mewakili keindahan tersebut.

Maraknya Penyelundupan
Dekat dengan dermaga pelabuhan dan sebelum memasuki perbatasan Indonesia – Timor Leste, singgahlah ke Paroki Stella Maris dan bertemu dengan dua Pastur bernama Romo Maxi dan Romo Yoris.
Selain warga yang mayoritas menganut Katholik taat, kehadiran dua Romo ini merupakan saksi dari pahit getirnya eksodus pengungsi Timor Timur sebelum menjadi Negara Timor Leste. Sebagai orang yang paling disegani, Romo Maxi masih ingat betul bagaimana saudara saling bunuh saudara sebelum Timor Leste merdeka. Kadang Romo Maxi terdiam dan berujar dengan suara lirih ketika bercerita ulang bagaimana perang hanya menimbulkan korban dan luka yang mendalam.
Kondisi perekonomian masyarakat pun tidak bisa dibilang semakin membaik. Kurangnya lapangan kerja dituding menjadi keabsahan ragam tindakan illegal seperti penyelundupan. Misalnya saja bahan bakar minyak. Penyelundupan dilakukan dari wilayah Kupang menuju Timor Leste. Dalam sehari, para penyelundup ini bisa mendapatkan uang 1 hingga 5 juta.
After Misa Romo Yoris
“Tapi yang membingungkan, kenapa mereka tetap miskin ya?” ujar Romo Yoris sambil tertawa renyah.
Tak jarang, Romo Yoris kadang dibuat kesal dengan suara knalpot motor para penyelundup yang melewati gereja, mengganggu misa di pagi hari. Belum lagi suara klakson motor yang terdengar keras disertai deru gas motor yang membuat tuli telinga Jemaah gereja. Maka suatu hari, Romo Yoris pun nekat keluar gereja dengan masih mengenakan jubah putih misa. Ia berdiri di pinggir jalan menunggu pengendara sepeda motor yang bising lewat.
Dan ketika salah satu pengendara motor itu lewat, Romo berjalan ke tengah jalan dan mengacungkan lima jari telapak kanannya ke depan wajahnya seraya berujar,
“Stop!”
Romo ingin sekali melihat wajah para penyelundup dibalik helm yang dikenakan dan hanya berniat memberi peringatan agar memelankan kecepatan motor ketika melintasi gereja.
Tapi alangkah terkejutnya Romo, ketika suatu hari ia mendapati seorang pengendara dengan bertubuh besar, bercelana pendek, kaos agak kumal, lengkap dengan derigen bbm di samping kanan, kiri dan belakang motor. Ketika pengendara tersebut membuka helmnya, Romo terkejut bahwa pengendara itu seorang wanita separuh baya yang sudah punya anak 5 dan jemaat gereja.
“Astaga umatku”, ujar Romo dalam hati.
Si ibu pun tidak gentar ketika membuka helm dan dengan wajah datar berucap, “Salam, Romo. Selamat pagi.” Seraya meraih jemari Romo untuk menciumnya selayaknya meminta berkah.
Sesaat Romo pun terkesiap dan tersadar, “Mama….apa kabar? Kenapa tidak pernah lagi ke gereja? Kalau jalan lewat gereja pelan-pelan..”
Romo pun seraya tertawa terbahak-bahak usai bercerita.

Romo Maxi
Tapi di luar itu semua, keramahan dan kehangatan di perbatasan ini membuat saya merasa punya saudara. Beda latar belakang agama ataupun suku, tidak membuat saya merasa dibedakan. Kami sama. Kami saudara. Selalu ada pintu yang terbuka dan tangan hangat Romo yang menerima kedatangan kami. Kapan pun. Bahkan keinginan terkecil saya pun didengar dari hati mereka yang paling dalam. Di hari terakhir saya pamit, Romo Maxi memberikan selendang panjang bernuansa merah seraya berujar, "Saya mendengar nona ingin selendang tenun merah. Saya punya stok. Ambillah untuk oleh-oleh."
Sementara Romo Yoris keluar dengan 2 kain tenun, "Prima..berikan satu untuk ibumu, satu untuk dirimu."
I was born moslem and until now I still believe in Islam. Tapi kasih Romo dan suster di perbatasan seakan tidak bisa membendung airmata saya ketika berpisah. Sejak kecil saya jarang menangis. Tapi saya tahu siapa yang tulus memberi, siapa yang ingkar janji. Romo Maxi dan Romo Yoris mengajarkan saya akan arti kasih dan tulus itu sebenarnya. Dan dalam hati, hingga kini, sampai nanti, saya selalu merindukan tanah perbatasan itu meski jarang tersentuh pemerintah. Bahkan ketika menulis ini pun mata saya seakan penuh dengan air yang ingin meluap karena rindu dengan pelukan hangat mereka. Meski tidak ada darah saudara, beda agama, beda adat, tapi saya dianggap saudara dalam
arti yang sebenar-benarnya.

Atapupu. 
Sebuah wilayah kecil selain Belu, yang menjadi wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Sempat terabaikan. Bahkan mungkin tak dikenal atau tercantum di buku sejarah. Tapi saya menggaransi, tidak satu pun warga disini abai terhadap mereka yang datang meminta tolong.

Salam hangat untuk Atapupu dan para Romo di perbatasan untuk kasih yang tak berbatas.

(end)

No comments:

Post a Comment