Thursday 29 May 2014

Surga di Sumba


Karang di atas Danau Weikurei
Di Sumba Barat, atap rumah menjulang tinggi bukan sekedar ciri khas budaya tapi juga cermin hubungan manusia dengan Tuhan sekaligus status sosial pemilik rumah. Selain rumah, Sumba Barat tawarkan kolam renang alam dengan dinding batu karang hitam dan gradasi biru air yang jauh dari kebisingan kota. Sembunyi sebentar ke pulau ini tidak ada salahnya karena manusia dan alam tawarkan sebuah harmoni khas timur nusa.


Desa Adat di Atas Bukit
Memasuki kecamatan Loli, singgahlah sebentar ke sebuah desa Adat yang terletak di salah satu sudut dataran tinggi di Sumba Barat. Desa Praijing. Berjalan kaki menapaki tangga licin berlumut cukup terjal bila anda mendaki dengan peralatan foto lengkap. Tapi yakinlah semuanya akan terbayar ketika anda berada di puncak.
Desa praijing terdiri dari beberapa rumah berarsitektur khas sumba, dengan atap yang tinggi mengerucut di puncak yang terbuat dari daun alang-alang yang dikeringkan dan dianyam. Ornamen tiang pancang rumah biasanya terbuat dari kayu keras yang kuat. Meski ada beberapa rumah sudah mengganti dengan ubin ataupun keramik. Di bagian bawah rumah atau di dataran yang lebih rendah, biasanya ada kandang khusus ternak. Mulai dari kuda, kerbau, babi dan ayam.
Desa Praijing
Ada beberapa spot seperti kuburan batu dan ornamen patung batu yang tidak boleh difoto pengunjung karena dianggap keramat. Tapi jangan segan menyapa ‘halo’ kepada para warga yang duduk di teras rumah melihat anda melintas. Karena mereka akan membalas senyum anda dan mempersilakan anda menikmati pemandangan ataupun memotret mereka. Sekilas mereka akan berbisik kepada guide “Jawa kah?”
Kata ini janganlah diartikan sebagai bentuk rasis, tapi lebih kepada perspektif mereka bahwa kebanyakan turis domestik, tak terkecuali dari ibukota, dianggap sama semua berasal dari tanah jawa. Sementara anak-anak terkadang malu-malu menatap anda dari balik punggung ibunya. Ada pun yang berani menatap mata anda berkata lirih, “gula?”
Kata ini dimaksudkan anda membawa permen untuk mereka. Maklumlah dataran tinggi desa ini sedikit jauh dari kota. Dan gula atau permen menjadi dambaan para bocah ini bila ada pengunjung datang ke desa mereka.
Desa praijing termasuk ke dalam desa adat yang ramah dengan pengunjung. Dalam artian para warganya tidak seenaknya meminta uang kepada pengunjung, ataupun main rampas barang pengunjung. Sehingga banyak tour guide menyarankan turis untuk sejenak berkunjung ke desa ini, bila ingin melihat dari dekat kehidupan tradisional masyarakat sumba barat. Misalnya saja, setiap rumah akan ramai dengan para ibu yang duduk dengan kaki selonjor sambil menenun kain. Atau seorang nenek sedang duduk bersandar di tiang teras rumah, sambil menumbuk campuran pinang, sirih dan kapur, sebelum dikunyah.
Beri Magi
Di salah satu rumah, saya terpesona dengan mata seorang anak, wiwin namanya. Mata itu begitu bulat dengan alis tebal tapi dengan rahang oval sempurna dan kulit coklat mengkilat. Sang nenek berkata, ayah si anak berasal dari tanah India yang bertemu dengan anak perempuannya (ibu si anak) saat bekerja di Malaysia. Rupanya warga sini sudah mengenal dan berani kerja di luar negeri.
Tapi sang nenek pun tak kalah menarik. Lukisan bermotif di lengan kanannya mengalihkan perhatian saya. Nenek bernama Beri Magi itu berujar, dengan potongan kata berbahasa Indonesia seadanya, coretan bermotif itu sejenis tato yang ditorehkan sejak ia masih kecil. Kata pak Pieter, tour guide kami, tato itu menggunakan duri jeruk yang dituliskan ke kulit anak perempuan sebagai penanda telah punya calon suami sehingga tidak diambil ataupun diperkosa penjajah. Menyusuri belasan rumah adat desa Praijing ternyata terlalu banyak cerita yang tersimpan.
Terakhir, naiklah ke atas bukit di penghujung desa, lalu berbaliklah. Anda akan melihat belasan rumah adat beratap ilalang membubung tinggi, berjajar rapih, dengan latar belakang langit biru dan awan berarak. Angin sepoi akan membelai raut anda seakan membawa pesan damai dalam kesunyian.
Bocah Desa Praijing
Dari desa Praijing berjalanlah ke arah barat daya. Sekitar dua jam perjalanan, anda akan tiba di lingkungan seminari KPA Ivan Zgatik. Disana ada museum budaya Sumba yang menyimpan benda dan rahasia tanah Sumba hasil penelitian seorang pastor.

Senyum Pastor Robert Ramone, CSsR, mengembang ketika menerima rombongan kami datang di Rumah Budaya, Weetabula, Sumba Barat Daya. Dengan perlahan Pastor mengajak kami berkeliling di sebuah rumah berisikan benda-benda yang dikumpulkannya dari pelosok pulau Sumba.

Museum Budaya Potret Sumba
Dung…dung..dung… Pastor Robert menabuh tambur 3 kali ketika kami masuk rumah budaya. “Selamat datang..” ujarnya ramah. Pastor memadu sendiri siapa saja tamu yang singgah ke museum yang dibangun di atas tanah seluas 45 hektar. Museum ini dibuat segi empat mirip dengan rumah adat dan tradisional yang masih terpapar rapih di beberapa desa di pulau sumba. Ciri khas utamanya adalah atap rumah yang berasal dari anyaman tanaman alang-alang kering.
Padre Robert
Namun untuk museumnya, P. Robert memodifikasi atap alang-alang dengan membuat anyaman model bali yaitu setebal 30 cm yang diperkirakan lebih awet hingga 30 tahun. Sementara pucuk atap yang mirip menara tinggi menjulang diartikan sebagai hubungan manusia yang harus ingat kepada Tuhan, sekaligus status sosial pemilik rumah. Ketinggian menara atap disesuaikan dengan letak geografis rumah dibangun. Semakin tinggi keberadaan tanah tempat rumah dibangun, yaitu di pegunungan, atap akan dibuat semakin pendek. Hal ini untuk menghindari terpaan angin gunung yang kencang. Biasanya atap menara yang tinggi dibangun pada rumah-rumah yang terletak dekat dengan pantai.
Selain atap, P. Robert menerangkan batu dan kayu pancang fondasi rumah. Batu diambil dari gunung merapi dan samudera Hindia. Sementara kayu loteng berasal dari batang pinang. Beda lagi dengan 4 tiang pancang yang punya cerita sendiri karena dalam adat Sumba tiang pancang diberikan oleh orang yang berbeda-beda dan punya makna.
“Tiang pertama sebelah kiri diberikan oleh anak sulung. Sementara tiang pertama kanan oleh anak kedua. Begitu seterusnya sesuai urutan…” Ujar P. Robert. Itu kenapa di beberapa desa tiang pertama sebelah kiri bisa menjadi pemicu perang saudara bila dipindahkan tanpa izin si pemberi atau anak sulung. Selain itu, ada 3 fase ukiran pada tiang pancang yaitu ayam, piring makan ternak dan babi. Tiga unsur ini dianggap sebagai berkah yang tak berkesudahan. Apalagi ayam dan babi merupakan ternak yang penting karena diperlukan dalam upacara adat ataupun menghormati tamu.
Museum Budaya Sumba
Di museum ini anda juga bisa menemukan benda budaya lain yang dikumpulkan Pastor Robert dari pelbagai wilayah di Sumba. Misalnya saja 2 kubur batu yang sudah berusia sekitar 500 tahun atau pelbagai kain tenun muda (berusia di bawah 20 tahun) dan kain tenun tua yang usianya mencapai 60 tahun dengan motif beragam dan bermakna tertentu.
Rata-rata motif kain berupa simbol binatang seperti naga dan buaya yang mewakili simbol raja, angsa simbol kepemimpinan, hingga motif binatang singa yang disebut hasil adaptasi budaya luar yang datang ke sumba lewat pendatang. Kain asli tradisional sumba dibuat dari kapas pilihan yang dipintal dengan cara tradisional sebelum ditenun dengan alat tradisional pula. Maka kualitasnya pun tidak usah diragukan lagi. Pastor Robert mencontohkan jenazah seorang Raja di Sumba Timur pernah disemayamkan di rumahnya (tanpa dikubur) selama 17 tahun dengan hanya dililit 50 lembar kain dan sama sekali tidak menimbulkan bau busuk.
Di akhir cerita, Pastor Robert menunjukkan tanda huruf capital ‘C’ yang berada tepat di tengah bangunan museum, sejajar dengan tanda yang sama yang berada di tengah halaman museum. Sejatinya huruf ini adalah nama ordo yang mewakili Pastor Robert. Tapi pastor lebih menyukai bila diartikan sebagai ‘cinta’.
“Saya ingin semua orang datang dengan cinta, membawa cinta dan kembali dengan cinta.”

Weikuri, Kolam Renang Alami Sumba
Danau Weikurei
Sekitar satu jam perjalanan dari museum budaya, anda bisa tiba di sebuah danau. Orang sekitar menyebutnya “Weikuri”. Danau ini dikeliling tebing karang terjal berwarna gelap, dengan air jernih bergradasi biru – toska – hijau. Orang sekitar menjadikannya kolam renang alami tempat berwisata keluarga di akhir pekan. Di sisi tebing disediakan tikar bagi pengunjung untuk bersantap siang sambil menikmati pemandangan air jernih nan tenang.
Meski jalan menuju tempat ini terbilang cukup sulit dan tidak ada petunjuk jalan. Beruntunglah jika anda bertemu guide dan supir yang mengerti betul lokasi ini. Karena keduanya tidak hanya menunjukkan kolam indah ini, tapi juga mengajak anda ke atas bukit di salah satu sudut kolam karang.
Anda bisa mengitari sisi kiri kolam dan bertemu dengan ladang rumput luas yang beralaskan karang gelap keras. Dari sini anda bisa melihat langsung lautan dan berasa dekat dengan langit. Dari sini pula anda bisa melihat deburan ombak yang berupaya menerjang karang, yang membatasi laut dan kolam weikuri. Dijamin pemandangan disini bahkan lebih indah dari tebing karang di pulau dewata, Bali.

Dari sini anda bisa bergeser ke daerah kodi, tepatnya di kecamatan Bondo Kodi. Kurang dari satu jam anda akan tiba di kampung Ratenggaro. Sebuah desa adat yang berada tepat di pesisir pantai Pero.

Desa Adat di Tepi Pantai
Desa Ratenggaro
Tidak berbeda desa Praijing, desa adat Ratenggaro juga memiliki atap ilalang khas yang menjulang tinggi. Bahkan tingginya lebih dari satu meter. Menurut Pastor Robert, semakin rendah dataran tempat pemukiman maka atap rumah akan semakin tinggi atapnya karena untuk menghalau hawa panas masuk ke dalam rumah. Seni arsitekturnya pun sekilas tampak sama. Hanya saja sejumlah kubur batu tampak jelas terlihat di pinggir pantai, bukan di antara jajaran rumah adat kampung Ratenggaro.
Ciri khas perkampungan adat hanya dua hal, yaitu rumah beratap ilalang tinggi dan kubur batu di depan rumah. Dua hal ini melambangkan dua hal, yaitu peringatan setiap makhluk pasti akan mati, dan setiap manusia diciptakan untuk membangun kehidupan baru. Inilah kepercayaan asli Marapu, warga Sumba.
Ratenggaro sendiri ada yang menyebutnya Rategaura, berasal dari dua kata yaitu Rate yang berarti kuburan, dan Gaura yang merupakan nama orang pertama yang menghuni kampung ini. Awalnya kampung ini berada di tepi pantai Pero, tempat kubur batu banyak ditemukan. Namun karena abrasi, warga terpaksa memindahkan rumahnya ke sisi lain pantai.
Sunset di Pantai Pero
Sisa kubur batu di tepi pantai Pero menjadi lokasi foto yang diminati fotografer karena anda bisa melihat lingkungan kampung Ratenggaro dengan pemandangan tepi pantai yang seakan menghiasi tepi halaman depan kampung.

Pantai Pero sendiri merupakan lajur tepi pantai panjang di daerah Kodi. Anda bisa berjalan ke sisi barat untuk lebih dekat mengabadikan matahari terbenam dari sebuah tebing karang tinggi tak jauh dari kampung Ratenggaro. Dengan catatan cuaca mendukung. Karena jika tidak kawanan mega akan berarak menutupi matahari yang akan tenggelam ke horizon.
(end)

No comments:

Post a Comment