Wednesday 11 January 2012

Wisata Kesehatan di Indonesia, Layakkah?

Sebuah artikel di situs voanews.com begitu mengusik hari ini yaitu "Indonesia Berencana Kembangkan Wisata Kesehatan"

Bukannya tak mungkin atau meremehkan, apalagi membaca secara keseluruhan artikel ini dan dengan pikiran yang positif, saya suka idenya. Terlebih pemilihan pulau Bali sebagai tempat wisata kesehatan tersebut. Ide cemerlang yang menggabungkan paket wisata dengan kesehatan dimana proses kesembuhan si pasien bisa lebih terjamin dan otomatis potensi objek pariwisata di Bali pun semakin meningkat. Tapi coba kita berpikir dengan kacamata atau perspektif masyarakat lainnya. Pantaskah wisata kesehatan ada di Indonesia sementara tingkat kesehatan di Indonesia masih rendah?

Misalnya saja, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih lumayan tinggi (bila tidak mau dibilang masih tinggi). Menurut data United Nations Population Fund (UNFPA) Maternal and Child Health WHO, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 228 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Atau diperkirakan 10.500 ibu di Indonesia setiap tahunnya meninggal saat melahirkan.

Lewat situs youtube tentang Bidan Robin yang mencoba mengingatkan kita akan kisah seorang warga negara amerika, yang pindah ke Bali untuk menyediakan layanan persalinan gratis bagi ibu hamil bagi wanita manapun dan dari kalangan apapun selama 13 belas tahun. Robin Lim pun meraih penghargaan CNN Heroes 2011 dan berhak atas hadiah total 300 ribu dollar amerika serikat. Robin pun berjanji, uang tersebut akan digunakan untuk memperbaiki bangunan sekaligus melengkapi peralatan medis di klinik Yayasan Bumi Sehat. Apakah Robin menjadikan klinik tersebut menjadi wisata kesehatan? Atau setelah dikenal masyarakat Indonesia, Robin menjadi "besar kepala" dan seperti kacang lupa kulitnya? Saya rasa tidak, karena niat Robin dan suaminya hanya "Membantu" bukan meraih keuntungan. Bagaimana saya yakin, karena pertanyaan Robin yang terekam dalam video youtube yaitu "Kenapa saya hidup di dunia? Karena saya mau bagi CINTA." Mengapa hal semacam itu justru hadir pada orang yang bukan berdarah Indonesia? Atau hadir di benak dan mental para pejabat Indonesia?

Tapi jika ingin bicara profit, mari benar-benar transparansi dan berhitung. Terlebih dalam artikel di situs voanews ini dikatakan pejabat dinas kesehatan Indonesia ingin menarik pasien asing dengan membandingkan Korea Selatan untuk operasi plastik, Thailand untuk pengencangan kulit dan Tiongkok untuk pencangkokan organ dan berharap profit tiga kali lipat dalam waktu setahun. Memangnya di Indonesia tidak bisa seperti itu? Bisa. Bahkan lebih bagus pun bisa. Karena Indonesia memiliki banyak dokter spesialis handal.

Pertanyaannya, apakah bayaran mereka sesuai bila terhitung menjadi PNS? Bahkan ada teman saya yang rela bertugas 1 tahun di pedalaman Aceh dan gajinya baru dibayarkan setahun kemudian. Kemana harus bertanya dan minta klarifikasi bila ada kasus seperti ini? Atau, bagaimana dengan di Surabaya, Jawa Timur, dimana masyarakat tak bisa berobat dengan jamkesmas lagi karena Rumah Sakit Umum Daerah-nya mengaku pemda berhutang obat dan pelayanan medis milyaran rupiah? Lalu kemana audit dana APBD pemda tersebut? kok bisa tidak terbayarkan? Kok bisa tidak ketahuan kemana larinya?

Maka saya rasa wajar, bila banyak putra bangsa yang lebih sering mengajar dan praktek di luar negeri karena bayaran dan tunjangan mereka ditanggung daripada mengabdi di negeri sendiri. Padahal di luar negeri sekalipun, mereka dibayar oleh penyelenggara yang notabene adalah negara pengundang. Itu bukannya prinsipnya sama ya, sama-sama pakai uang negara? Lalu kenapa di Indonesia tidak bisa? Tidak usah berpikir soal wisata kesehatan bagi orang kaya, bila wisata kesehatan bagi jamkesmas si miskin pun terhambat. Ironi atau ada alasan lain?

Maka saya pun setuju pernyataan ketua Ikatan Dokter Indonesia, Dr. Prijo Sidipratramo, dalam artikel yang sama, bahwa pemerintah Indonesia belum menjalankan prioritas yang seimbang. Kementerian Kesehatan pahamkah bahwa masih banyak orang yang tidak mampu mendapatkan pengobatan? Belum lagi angka 31 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan dan belum mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Belum lagi jumlah klinik atau dokter masih kurang di daerah pedalaman di Indonesia.

Itu baru soal klinik dan dokter. Masalah sepele seperti MCK atau toilet sederhana pun tidak ditemukan di pedalaman Indonesia seperti di sebuah desa tanpa WC di Sumba Timur, NTT. Di 22 Kecamatan, ada lebih dari 28.594 Keluarga miskin hidup tanpa WC atau jamban. Angka yang berbanding terbalik dengan anggaran DPR untuk perbaikan toilet gedung DPR/MPR mencapai 2 milyar untuk anggaran 2011. WC saja tak ada, apa bisa menjamin kesehatan warga? Punya kata lain selain ironi atau miris untuk data ini jika dibandingkan dengan pernyataan wisata kesehatan?

Bila membandingkan dengan banyaknya jumlah orang kaya Indonesia yang berobat ke Singapura dan Malaysia dengan alasan sistem kesehatan Indonesia tidak mampu bersaing, coba kita tanyakan dulu ke setiap Rumah Sakit di Indonesia. Dimana letak kekurangannya? Bila mengatasi jamkesmas saja sulit dan masih banyak warga miskin belum dapatkan pelayanan kesehatan, masa berani mengatakan bersaing dengan negara lain yang SDM dan fasilitasnya terjamin dan harga terjangkau?

Lagi-lagi, saya hanya ingin menyampaikan, bila mewakili negara bukankah lebih baik berbuat yang prioritas dulu daripada keuntungan semata? Keuntungan juga untuk siapa? Kantong pribadi atau masyarakat? Bukan tak setuju dengan keberadaan wisata kesehatan, tapi apakah kita tidak melihat dulu sekeliling dan ke bawah, sebelum mendongak ke atas dan meminta yang lebih tinggi? Saya pun setuju dengan pendapat ketua IDI, "bila menyangkut wisata kesehatan di Indonesia, hal ini bisa diberikan kepada sektor swasta, bukan pemerintah.” Pelayanan kesehatan yang baik, cermin SDM negara yang mapan.

6 comments:

  1. Lia makin payah keadaan RI...dibawah SBY...

    ReplyDelete
  2. pucuk pimpinan memang presiden, tapi mental para "pembantu" nya apa juga sudah benar, pak De? :)

    ReplyDelete
  3. Lha DPR makin kacau, maaf yang beberapa ekor ke Berlin(katanya Study) belanja di Mall Mahal(KAdewe) yang aku saja hanya masuk untuk clingak clinguk aja, ngomong keras, hingga ditegur Security, maluin...sayang aku ndak bawa Camera....semua DPR (Dewan Penipu Rakyat) bau kretek....

    ReplyDelete
  4. sabar, pak De...sabar.... hehehe kali lagi bawa kamera ya, pak De..trus upload biar kutayangkan disini...hehehe

    ReplyDelete
  5. Kalo mereka datang lagi..kesini......

    ReplyDelete