Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | History |
Author: | Cok Sawitri |
putra mahkota tumbuh sebagai anak yang cerdas dan belum dipengaruhi apapun termasuk teracuni makanan karena berguru dan belajar. hingga memenangi pertandingan yang seharusnya belum cukup umur.
putra mahkota tumbuh dan menjadi raja dalam keterpaksaan karena ayahanda meninggal tiba-tiba. sang pangeran kemudian pelan-pelan menaklukkan negara-negara tetangga yang kaya dan menganggap negerinya lemah tanpa adanya jatuh korban. tidak ada rakyat yang menderita, tidak ada kelaparan, tidak ada pertumpahan darah. nazar si pangeran adalah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada Siwa dan menerapkan dharma negara dan agama. maka pangeran pun dijuluki "porusadha" atau si pelahap kepala raja.
hingga untuk membulatkan jumlah tersebut, porusadha harus mengambil alih raja hastina, sutasoma, yang dikenal lembut dan tidak pernah marah.
sutasoma yang mengerti maksud dan tujuan porusadha justru menghalangi pasukannya untuk melawan porusadha.
sutasoma dan porusadha akhirnya memutuskan untuk menemui Siwa dan meminta pengampunan.
baik porusadha, sutasoma dan siwa, bukanlah berpenampilan gahar, garang, kasar, seperti raksasa. mereka justru tenang dan tampan. tidak diceritakan hasrat porusadha terhadap wanita sedikitpun di buku ini, dia hanya memikirkan rakyatnya dan menumpas mereka yang lalim tanpa menimbulkan korban atau mengorbankan rakyat. sutasoma ditampilkan sebagai sosok yang tampan dan tidak pernah melawan dengan amarah. kelembutannya menghadapi amarah dan menahan hawa nafsu, justru membuat takluk para dewa, termasuk dewa indra dan para bidadarinya. dan Siwa sendiri diakui sebagai sosok yang terlalu tampan untuk seorang pria, dan terlalu cantik untuk seorang perempuan. Siwa ternyata bisa kompromi dan mengerti tujuan setiap orang. tidak segalak yang dipikirkan.
jangan menilai seseorang dari kulitnya. terkadang kita tidak tahu maksud seseorang berbuat kejahatan. kita tidak tahu bagaimana seseorang bisa berbuat jahat. kita hanya melihat dari luarnya saja. termasuk juga pemberitaan di media. objektifitas bukanlah luntur, tapi atas nama kepentingan pemberitaan mengarah kepada yang diinginkan kepentingan tersebut. raja seperti porusadha dan sutasoma sedang dibutuhkan negeri ini. tidak hanya mengumpulkan dana untuk pemilihan selanjutnya, tapi berbuat dulu buat rakyat sebelum mendapat untung untuk keluarga dan dirinya.
novel sejarah ya?
ReplyDeletemungkin bs di kirim buat para elit politik kita, spy d baca d wkt senggang... he he
sejarah...mungkin lebih tepatnya saduran dari naskah asli Sutasoma-nya mpu Tantular...dikirim? suruh beli aja sendiri kan gajinya udah pada gede2..malah minta naik lagi..hihihihi
ReplyDeleteya ntar minta ganti+ongkos kirim, pasti di ganti deh, kan gajinya gede :-)
ReplyDeleteHahaha tetep ga yakin gw, mas..
ReplyDeletehe he he krisis kepercayaan blm pulih rupanya
ReplyDelete