Saturday 14 February 2009

KETAPANG - SUNGAI PUTRI - SUNGAI TOLAK - PONTIANAK

Para petualang mana yang tidak ingin menginjakkan kaki dan meraup kesegaran alam tanah borneo? Mengunjungi tanah mengalir 1000 sungai pasti salah satu impiannya. Desember 2008, awal petualangan di sudut barat Kalimantan, Ketapang. Perjalanan berawal dari Pontianak. Sempat bermalam satu malam karena pesawat ke ketapang harus berangkat subuh.
Malam di Pontianak diawali dengan nongkrong di warung kopi dan gorengan tepat di depan hotel Anggrek. Tidak hanya gorengan, kue-kue seperti wajid, nagasari, juga ada. Gorengan pun tidak sekedar pisang kipas ponti yang terkenal itu, ada juga tahu dan bakwan.
Untuk makan malam, pantang rasanya mencoba pecel lele atau masakan padang. Harus coba masakan cina atau Chinese foodnya. Salah satunya adalah tumis pucuk pakis. Peampilan, tidak ada selera. Hanya sulur pakis yang melingkar berwarna hijau dengan bumbu lebih mirip lumpur. Tapi begitu dicoba, rasa enaknya beda tipis dengan tumis cah kangkung.

Ketapang
Pergi ke kota di ujung Kalimantan barat dari Pontianak ini bisa dengan pesawat kecil. Tapi bukan berarti pesawat seadanya seperti di kota-kota di papua. Pesawat cukup nyaman. Peraturan prosedural keselamatan (termasuk pelayanan pramugari) hampir sama dengan maskapai penerbangan nasional. Snack yang didapat pun cukup modern, sebungkus kacang goreng dan wafer tango lengkap dengan aqua gelas. Tapi jangan harap bisa tahu duduk dimana. Siapa cepat, dia dapat. Tidak ada system meminta atau booking tempat duduk disini karena dirimu juga tidak akan menemukan nomor kursimu di dalam tiketmu. Naiklah ke pesawat lalu carilah kursi yang kosong, dan pasanglah sabuk pengaman. Dan enjoy the flight…
Panas. Kata pertama yang dirasakan tiba di kota ini. Karena berangkat dengan penerbangan subuh dari Pontianak, meski snack juga sudah tandas dalam perut, tak ada salahnya kan sarapan lagi? Ada sebuah warung di halaman rumah warga yang cukup terkenal di ketapang, jualan bermacam. Mulai dari nasi kuning (lengkap dengan telur, orek tempe, ayam goreng), lontong sayur (ayam atau daging), nasi uduk, sate ayam, hingga ketupat colet (disajikan dengan bumbu terpisah mirip rending lalu makannya dengan mencocol ketupat ke dalam bumbu tersebut makanya dinamakan ketupat colet).

Sungai Putri
Perjalanan ke desa sungai putri sekitar 1 jam dari ketapang. Tiba usai sholat jumat, singgah di rumah kepala desa untuk silaturahmi dan makan siang. Bila banjir dan genangan air melanda Jakarta, mungkin warga sudah siap-siap mengungsi atau berdiam diri di rumah. Tapi genangan air di sekitar perumahan warga sungai putri, justru sudah menjadi hal biasa. Tak sedikit dataran perumahan justru lebih rendah di banding jalan. Daerah perumahan pun memang daerah genangan. Maka tiap rumah pun menaruh papan sebagai jembatan dari jalanan menuju teras rumah mereka.
Genangan air bewarna coklat kemerahan seperti warna teh kental, merupakan ciri khas air tanah gambut. Warga asli percaya, air tersebut berasal dari 44 akar pohon yang berbeda dan tidak pernah menimbulkan penyakit kulit ataupun muntaber.
Dari pinggir jalan, perahu dipasang untuk menyusuri sungai putri menuju ke pedalaman. Dilepas ratusan warga, seakan 3 perahu dan para penghuninya akan pulang lama dan berlayar jauh.
Di menit awal, pemandangan pertama yang disaksikan adalah sisa-sisa penebangan kayu termasuk gubung para logger (penebang kayu) yang tidak ditinggali lagi. Belum lagi halangan di sepanjang perjalanan menjadi hal unik lainnya, mulai dari gelondongan kayu yang menghambat baling-baling perahu, hingga batang pohon yang tumbang dan menghalangi jalan lajur perahu. Tak jarang, lebar sungai menyempit karena tanaman perdu yang kian ramai, atau pandan-pandanan yang merambat hebat. Dataran, jauh dari bayangan. Sejauh mata memandang, dataran pun digenangi air asal 44 akar tadi. Kadang perahu melewati jalur rimbun pepohonan serasa bersampan di hutan belantara. Perjalanan yang diperkirakan memakan waktu 2 jam, molor menjadi hampir 4 jam karena peristiwa perahu yang mogok dan beragam rintangan alam.
Pondokan para logger milik pak Darmaji, menjadi penginapan istimewa. Jangan berharap ada wc, sebab dimanapun lokasi berair yang tenang, bisa menjadi pengganti toilet. Untuk lelaki, langsung mandi mungkin bukan hal berat, tapi para wanita? Kami hanya disediakan dua papan di atas sungai untuk pijakan yang ditutupi terpal setinggi badan. Lumayan buat buang air. Sikat gigi, cuci muka, cuci piring selesai makan, cukup bilas di sebelah kayu yang ditumpuk untuk nongkrong. Selesai. Begitu mudah begitu sederhana. Tidur, cukup nyaman dengan sleeping bed beralas terpal atau jas ujan (karena nyamuk bisa masuk menerobos lewat sela-sela dipan kayu manapun) dan diberi keistimewaan kelambu. Nyenyak tidur, tapi begitu bangun badan sakit semua karena tidak bergerak semalaman dan kaku oleh kayu.
Pagi hari, usai sikat gigi dan sarapan, berburuan pun dimulai. Perjalanan menjenguk saudara dekat sambil menyusuri rawa. Membenamkan kaki pada lahan gambut yang dalamnya berkisar 30 cm – 10 m. meski sudah mengenakan boot setinggi lutut, tak pelak lumpur dan air tetap masuk ke dalam dan sesekali harus menguras isi boot agar tidak terasa berat saat melangkah.
Meski saudara dekat alias orangutan tidak mau muncul, dan hanya terlihat sarangnya saja, banyak pemandangan menarik di dalam hutan. Mulai dari nephentes atau kantung semar yang beragam, buah bekas makanan orangutan yang rasanya agak asam, hingga buah kelumbak yang bersiung seperti bawang dan berlendir yang jika dikunyah akan membuat apapun yang kalian makan terasa manis di tenggorokan. Sayang, tidak ada anggrek yang muncul hari itu.

Sungai Tolak
Jarak desa sungai tolak dari sungai putrid sekitar satu jam perjalanan. Kali ini, menginap di rumah penduduk. Beruntung, untuk perempuan bisa mendapat kamar jadi tidak perlu tidur dengan sleeping bag. Paginya harus berjalan beberapa meter ke tepi sungai untuk naik perahu. Ya perahu lagi. Itu kenapa Kalimantan dinamakan kota 1000 sungai. Sungai tolak lebih lebar daripada sungai putrid. Tepian sungai tolak justru lebih monoton karena hanya terdiri dari pandan-pandanan yang terendam karena debit air yang sedang tinggi saat itu. Baru seperempat perjalanan, ada dataran tempat kami melihat rumah sarang burung walet yang konon lebih bagus daripada rumah penjaganya. Hampir separuh perjalanan, tidak ada dataran yang bisa diinjak, seakan pepohonan yang menjulang tinggi sekalipun tenggelam dalam genangan air.
Tak berapa lama, singgah di sebuah dermaga. Tapi menurut masyarakat sekitar, bekantan (apalagi orangutan) sedang tidak singgah di daerah situ karena pohon penghasil buah makanannya sedang tidak berbuah. Maka harus mengayuh perahu lagi lebih ke dalam sungai tolak.
Peringatan, jangan terlalu menikmati angin sepoi dan keindahan monoton sungai tolak yang bisa membuat mata pelan-pelan meredup dan tertidur, sebab tiba-tiba saja sekelompok (mungkin satu keluarga) bekantan sedang bertengger santai menikmati buah-buahan. Satu-dua-tiga-empat-sungguh menyenangkan melihat mereka melompat dan mengabadikan dalam lensa baik yang bergerak maupun berhenti. Awas, jangan berisik! Hitunga kelima sepasang bekantan dewasa yang sangat besar masih menunggu untuk melompat! Satu-dua-tiga! Mereka melompat cepat hingga susah ditangkap kamera pada menit berikutnya.
Puas menikmati sekaligus telah ditinggalkan keluarga bekantan yang mengungsi semakin ke dalam, perahu dikayuh kembali menuju ke pedalaman sungai tolak hingga akhirnya mencapai gubug bekas logger (penebang kayu) yang sudah ditinggalkan. Rumah kayu logger kali ini agak berbeda, karena dibuat bertingkat. Katanya sih, kalau air sedang pasang, kayu penyangga rumah hingga lantai bawah bisa terendam air. Jadilah tinggal cuma bisa berteduh di lantai atas yang ternyata cuma muat untuk kita duduk saja. Jadi terbayanglah bila ternyata air tetap meninggi, kemanakah harus mengungsi? P-E-R-A-H-U!
Dermaga yang dibuat dekat rumah kayu pun terendam air hingga 30cm-an. Jalan titian dari tumpukan kayu pun sepertinya sudah lama terbengkalai karena banyak yang sudah lapuk bahkan patah saat dilewati. Dan saat yang lain sibuk meneliti sarang orangutan, pohon makanan bekantan, jika beruntung cobalah buah kelumbah yang berbentuk seperti siung bawang putih tapi lebih kecil, berlendir dan hambar rasanya. Tapi setelah dikunyah dan ditelan, tunggulah beberapa saat lalu minumkan air tawar bahkan paling masam sekalipun, maka minuman atau makanan tersebut akan terasa manis di tenggorokanmu.
Selain kelumbak, apalagi kalau bukan anggrek. Tak tega rasanya mengambil gerombolan anggrek di atas pohon (karena malas juga memanjatnya dan tidak ada yang mau mengambilkannya juga) maka hanya sempat mengambil jenis anggrek yang tertempel pada pohon yang tumbang. Itupun hanya anakan yang kecil. Selain was-was melewati bandara, merawat anggrek dari kecil menimbulkan kepuasan tersendiri saat ia nanti besar dan menanti seperti apa bunganya karena belum ada yang memberitahu jenis-jenis apa sajakah itu.

PONTIANAK
Tidak ada yang menarik dari ibukota propinsi Kalimantan barat ini jikalau tidak ada teman-teman wartawan lokal yang bersedia meluangkan 2 jam waktu mereka menemani berkeliling kota. Mulai dari makan di kantin mahasiswa yang 3 M (murah meriah muntah) beli oleh-oleh tenun asli yang ternyata mahal harganya. Satu syal pendek minta 50 ribu dan tidak mau kurang sama sekali. Warna asli dari pewarnaan alam dan tenun tangan. Belum lagi batu-batuan warna-warni yang dijadikan gelang. Tadinya dikira harga berkisar puluhan ribu rupiah tapi ternyata ratusan ribu rupiah. Hanya bisa gigit jari. Dan ternyata beberapa menit sebelum boarding pesawat, bertemu dengan toko yang menjual cinderamata dengan harga yang ditawarkan untuk tenun dengan model dan bentuk yang beda 10-20 ribu saja dari pasar tempat membeli tenun. Menyebalkan.
Tapi kekesalan tidak jadi membeli tenun yang terlewat mahal terobati setelah mengunjungi hutan buatan fakultas kehutanan universitas tarumanegara. Berjalan di jalur kayu di atas rawa menikmati pepohonan besar yang menyangga puluhan jenis anggrek species dari pedalaman hutan Kalimantan. Para mahasiswa pun berbaik hati menyilakan memilih anggrek mana yang akan dibawa pulang. Asal jangan bibit induk.

Kalimantan, kota seribu sungai dengan seribu keajaiban dan satu misteri yang tidak pernah dipecahkan dan membuatnya terlihat berbeda dan lebih dari pulau-pulau di Indonesia.

5 comments:

  1. untuk para pecinta alam ato yg suka petualangan, kalimantan lah tempatnya!

    ReplyDelete
  2. jiaahh....si ndut satu ini, jgn terll asyik bekerja ndut, biar cpt nikah, udah pada jauhan, lw tinggal asyik kerja, doi lw jg asyik kerja, kapan ktemunya?? Inget... tuh cowok dah cinta bgt ma lw, ga tahu lagi lw-nya sih, cmn kyknya lw jg cinta bgt ya ma tuh cowok....?

    ReplyDelete
  3. eh, kok lw tau sih? kan lw katanya ga tau? hayooo.....?! jangan ngarang dong....

    ReplyDelete
  4. Ya tahulah.... br gw 10 menit buka multiply lw, langsung deh brita tentang lw langsung ada berseliweran, ada yg bilang lw cinta mati ma tuh cowok, ada yg bilang akhirnya si prima dapat jodohnya lah, dsb....

    ReplyDelete