Wednesday 6 August 2008

SERIBU JEJAK VOC DI KEPULAUAN SERIBU

Memulai pagi hari dgn pemandangan tempat pelelangan ikan di muara kamal. Bau amis ikan dan teman2nya serta sampah jeroan dan darah para binatang laut, sempat aku pinggirkan & dengan cuek makan mie instant rebus sebab cacing perut semakin protes minta diisi. Tak berapa lama, komunitas historia datang juga. Setelah ramah tamah sebentar, kami pun naik perahu. Di dalam perahu ada guide (mahasiswa fakultas sejarah dan geologi) yang kujuluki kiki dan koko karena namanya mirip (ari dan arif. Hehehe) sambil menunggu kapal merapat ke pulau, kiki dan koko berkisah soal pulau-pulau yang akan dikunjungi.

 

Pulau Kelor

Hampir tidak bisa merapat di pulau yang luasnya tinggal 1,5 ha (tadinya sekitar 5 ha tapi tergerus abrasi) ini karena hari sudah siang dan air sudah agak surut. Tapi pengemudi perahu patut diacungi jempol. Buah sabar mengikuti ombak, perahu merapat sempurna tanpa harus terbentur tepi pulau yang terjal.

Membawa rombongan sepeti membawa species manusia dgn latar belakang yang berbeda. Ada yang langsung sibuk mengurusi sepatu yang basah, ada yg langsung main air, ada yang langsung memakai kacamata & payung karena panas, ada yang bergayut manja pada pasangannya, ada juga yg langsung foto-foto. Sang ketua Asep Kambali tak kehabisan kata-kata, kalimat lugas tanpa menggurui keluar “orang yang tidak suka difoto berarti tidak mau dikenang dalam sejarah. Tapi lebih baik lagi jika kita bisa bercerita sejarah tentang latar belakang foto itu kepada orang yang melihatnya.”  Tak pelak lagi para rombongan berhenti berfoto (termasuk gw) dan mengelilingi kang asep di depan benteng mortello. Kang asep pun mulai bercerita tentang pulau kelor yg disebut juga kerkhoff (kuburan) karena belanda suka membuang mayat disini. Bahkan beberapa kali masih ada penemuan kerangkan manusia disini. Meski kecil, pulau ini menjadi pertahanan pertama belanda sebelum membangun pertahanan di pulau lain. Benteng (menara) mortello adalah saksi bisu satu-satunya yang tertinggal dan menambah kesan magis di pulau kelor. Mortello berarti lingkaran. Dikenalkan sekitar 4 abad lalu di perancis. Lalu diadaptasi inggris dan belanda. Awalnya hanya menjadi menara pengawasan. Tapi oleh belanda juga difungsikan untuk pertahanan. Benteng ini sebenarnya berlapis dua tapi lapisan luarnya sudah tenggelam karena abrasi.

 

Pulau Cipir

Tiba di pulau cipir kang asep mengawali kuliah sejarahnya tentang ketidak-mengertiannya mengapa pemda setempat membangun tugu/monumen tentang pulau cipir di atas patung 3 lingga (penis). Hahahaha cipir juga dikenal sebagai pulau kahyangan. Menurutku mungkin malah bayangan. Karena pulau ini seperti “gudang” pulau onrust. Jika ada barang yang tak muat ditampung atau jumlah pasien sudah overloaded di onrust, maka akan dikirim (diinapkan) di cipir. Di salah satu bangunan, kang asep menunjukkan tempat pemenggalan manusia. Hasil itu adalah hasil analisis bentuk bangunan berdasarkan arsitektur dan interior bangunan. Hal lain, setiap bangunan yang tersisa di pulau ini, entah itu bekas rumah sakit, tempat pasien, tempat penampungan haji, tidak beratap, daun pintu & jendala hilang. Kata kang asep karena penjarahan besar-besaran dan dilegalkan aparat setempat. Hilang sudah saksi bisu sejarah karena ketamakan manusia.

Tempat lain yang menarik perhatianku adalah bekas pijakan/fondasi yang masih kokoh antara cipir dan onrust yang dilabeli “jembatan”. Wow! Belanda sudah berpikir begitu jauh. Karena untuk memindahkan barang (atau orang) selalu menggunakan perahu dan butuh waktu, tetapi lewat jembatan dgn berjalan kaki pun bisa. Tapi ombak laut jawa yang kuat ditambah lagi pertemanan laut dan samudera, membuat jembatan hancur dan tidak diperbaiki.

 

Pulau Onrust

Pulau yang sangat membuatku penasaran setelah membaca rahasia Meede nya E.S Ito. Tapi gw kaget begitu sampai hanya rumah dokter yang tersisa. Bangunan lain habis rata. Di dalam rumah dokter tersimpan foto-foto lama tentang kejayaan belanda di pulau seribu. Termasuk maket onrust yang sempat mengalami beberapa kali pemugaran. Tapi onrust selalu menjadi pusat pertahanan. Karena letaknya yang strategis (terlindung kelor dan cipir) serta luasnya yang memadai untuk membangun benteng yang lengkap.

Kaki sudah teriak cape, tapi cerita kang asep mengalahkan segalanya. Pria itu memang pintar mendongeng! Kaki yang teriak pegal dipaksa mengunjungi bangunan tempat adu manusia pada saat jepang menjajah indonesia. Di dalam bangunan ada lingkaran yang diameternya tak lebih dari 4 meter tempat mengadu tawanan hingga mati. Jika banyak tawanan yang tetap hidup, berarti butuh makanan lebih banyak. Belum lagi memulangkan mereka berarti butuh biaya. Suatu analogi mengarah ke genosida yang cermat, cepat, efisien tanpa kemanusiaan. Ini perang, bung!

Berbelok kiri dari bangunan gladiator ala jepang, ada kompleks makam belanda. Salah satu makam yang terkenal adalah maria van der lende, anak petinggi galangan kapal belanda yang meninggal muda karena malaria. Ada beberapa bangunan belanda yang tidak cocok ditempatkan di indonesia sehingga kurang sirkulasi udara, pengap dan mengundang penyakit tropis. Belum lagi pengalaman dokter belanda masih kurang soal penyakit tropis seperti malaria. Penderita penyakit lepra, kusta dan TBC diungsikan ke onrust dan cipir bukan untuk diteliti dan disembuhkan, tapi untuk diisolasi sehingga tidak menyebar ke masyarakat lain.

Perkembangan pendidikan para pemuka Islam juga sempat membuat ciut belanda. Hingga pengiriman para calon haji kemudian diinapkan ke pulau ini dengan alasan karantina untuk beradaptasi dengan laut karena dulu tidak ada pesawat terbang. Tapi entah nasib mereka kemudian. Tak jelas akhirnya.

 

Pulau Bidadari

Perut lapar meronta begitu tiba di pulau ini dan langsung pesan makanan. Tapi amarahku meledak karena harus menunggu 1 jam dan pesanan 3 meja lain lebih didahulukan padahal gw lebih dulu pesan dari mereka!

Usai isi perut, amarah mereda dan hilang karena kang asep ngajak ke benteng mortello yang lebih besar dari di pulau kelor. Selain itu ada terowongan di dalamnya tempat menyimpan mesiu.

 

Terima kasih buat kang asep yang tidak pernah lelah untuk menjawab semua pertanyaan gw, buat para fotografer beneran ataupun mendadak (yudi, anastasia, arif, hudry, yanti) maupun figuran yg tidak bisa disebutkan namanya dan bersedia berperan dalam kerjaan gw dan dibayar dengan senyum serta persahabatan. Sampai bertemu di perjalanan sejarah yang lain.

Sejarah tak hanya untuk dikenang, tapi menjadi pelajaran sehingga tidak menjadi manusia yang terlihat bodoh karena tidak tahu asal usul dan mengulang kesalahan yang sama.

No comments:

Post a Comment