Wednesday 6 August 2008

SERENTAUN KASEPUHAN CIPTAGELAR BANTEN KIDUL

Day 1

Kaget bercampur senang saat ditugaskan ke tempat ini. Desa modern di kaki gunung halimun – kab. Sukabumi. Bela-belain pergi dalam kondisi flu berat (akhirnya ke dokter juga setelah beberapa hari malas ke dokter dan terpaksa karena khawatir tepar di jalan) Perjalanan memang menyebalkan terlebih menunggu seorang bos (yang punya akses TOP bgt deh di desa ini!) yg telat 5 jam! Belum lagi perjalanan dengan mobil land rover 70 merah putihnya bukan mennyiutkan nyali karena jalanan yang curam terjal dan berbatu, tapi aku berdoa dalam hati supaya mobil bercat bendera ini tidak mogok di tengah jalan atau mengalami kesalahan fatal. Karena selama perjalanan bos gw bercerita pernah menginap di hutan karena as mobil patah atau menunggu 7 orang mengangkut mobilnya yang masuk ke dalam kubangan. Pfuih! Perjalanan berhenti di desa ciptarasa (sebelum di ciptagelar, warga kasepuhan banten kidul mendiami cipta rasa hingga suatu hari alm. Abah Anom mendapat wangsit pindah ke dataran lebih tinggi 1200 dpl di ciptagelar) dgn ketinggian 700 dpl. Kehangatan ala sunda menyapa. Siapa yang tidak kenal bos gw disana, belum lagi namanya yang masuk di jajaran bergengsi di kantor. Ramah tamah pun disiapkan. Makanan seadanya disajikan. Singkat cerita rapat kecil dimulai untuk kegiatan esok hari. List gambar dan kemungkinan on-screen dirancang. Ngantuk menyapa. Kameraman, si bos dan temannya memilih tidur di gazebo luar sambil menunggu matahari pagi. Sementara gw, di kamar paling depan imah (rumah) gede peninggalan abah anom sebelum pindah ke ciptagelar. Masih dengan baju yang sama (karena malas ganti cuaca yang dingin) dengan jaket tebal dan sarung, gw tertidur. Pulas? Kadang, karena cape. Tapi dingin menyapa menggigil hingga ke tulang sekitar pukul 2 pagi. Ah ciri khas cuaca pegunungan menyapa tamunya.

 

Day 2

Pukul 5 pagi gw nekat bangun ambil air wudhu. Kebetulan wc nya ada di luar tepat di sebelah imah gede. Tapi baru membuka pintu kamar, muka gw pucat. Ada sekitar 10 orang laki-laki tidur tergeletak pulas di situ. Bukan takut karena mereka laki-laki, tapi gw bingung bagaimana jalan ke pintu keluar rumah sehingga tidak menyenggol badan mereka? Puyeng! Ah bodo amat, begitu gw liat celah kecil menghimpit untuk menuju pintu keluar, gw pun berjingkat menuju pintu. Buka sedikit, lalu tutup pelan2. Aman.

Meski air dingin menyergap langsung kulit, di otak gw justru muncul pikiran hangat “kapan lagi nyobain air gunung subuh2?” pikiran gila kembali muncul, gimana balik ke rumah tsb tanpa membangunkan mereka? Gimana kalau ada badan di balik pintu saat dibuka? Sedikit was-was sambil ucap Bismillah….gw buka pintu..Alhamdulillah tak ada badan yang terantuk daun pintu. Tapi ada beberapa kepala menoleh kaget. Mereka lebih kaget lagi saat melihat gw gelar sejadah. Maklumlah kamar tempat gw menginap tak cukup untuk menggelar sejadah. Usah sholat gw langsung menghambur ke kamar kembali tidur. Hehehehe sekitar pukul 6, langit sudah terang. Gw pun ke luar menuju gazebo tempat para lelaki menginap menunggu sunrise. Tapi alis gw mengerut begitu keluar rumah. Kabut tebal menyapa hingga ke bawah dataran desa. Kamera yang mereka gelar telihat tak berkutik. Apa yang mau direkam? Bahkan gambar perumahan di dataran lebih bawah saja tak terlihat jelas karena tertutup kabut. Alhasil jadilah pagi itu acara menyeduh kopi sambil makan snack biskuit sambil mengobrol ngalor ngidul. Hahaha gw pun memutuskan langsung mandi biar tidak terasa dingin. Praktek yg selalu gw terapkan jika jalan ke pegunungan, jangan lupa mandi pagi. Saat matahari agak tinggi, kami berjalan pamit ke cipta gelar. Sempat dua kali berhenti untuk melakukan on-screen opening. Saat on-screen yang kedua selesai, para lelaki itu langsung ngacir ke sungai cibareno dan mandi dengan ala tarzan. Gw cuma geleng2 dan lebih memilih menunggu di saung di pinggi jembatan dan jalan sambil ngobrol dgn anak2 mahasiswa UNPAD yg tengah KKN. Selesai mandi dan anak2 mahasiswa itu pergi, kita masak mie instant! Perlengkapan tempur si bos tentunya masih tersimpan rapih seperti mobil tua benderanya itu dan tentunya masih berfungsi. Kenyang makan, kita lanjut lagi.

Sampai di ciptagelar, sudah ramai. Banyak orang berebut parkir dan penginapan. Tapi lebih banyak lagi yang berebut ketemu abah Ugi (anak pertama abah Anom dan 2008 adalah serentaun pertama Abah Ugi) usai kenalan dengan panitia kita ke rumah emak lebak untuk izin menginap. Seperti biasa, gw dapat kamar sendiri. Serasa VIP dengan selimut hangat yang masih baru dan wangi! Saat itu aku bersyukur menjadi wanita. Hehehe acara dilanjutkan berkunjung ke rumah abah dan langsung disapa istri abah Ugi (emak Destri) dan Emak Uyen (istri abah anom) suguhan ala desa disajikan. Mulai dari wajik, uli hingga kue beras dan sagu. Termasuk demonstrasi Emak Uyen saat menunjukan penggunaan pemantik api dari batu dan getah pinah. Tradisional dan keren! Desa di ujung gunung yang sudah terkenal ini, tak luput dari arogansi aroma kekuasaan masih menyapa. Giliran bertemu abah Ugi disalip oleh bupati, wakil bupat, pak camat dan kepala dinas. Sayup2 terdengar suara emak Uyen dan abah Ugi yang menasehati para pemangku kekuasaan yg minta doa agar bisa terpilih lagi “sudah yakin mau jadi pemimpin? Udah bisa mimpin diri sendiri belum? Jangan janji melulu tapi lupa sama rakyat kalau sudah berkuasa.”

Hingga pukul 9 malam (setelah sempat ngobrol dgn berbagai orang ada aki upat, aki karma, mang eeng, dll) si bos memutuskan untuk pulang dan tidur karena acara besok pagi yang padat dan merupakan puncak acara serentaun. Tapi saat turun ke rumah, otak gw berpikir keras bagaimana caranya tidur. Hawa dingin bisa lewat selimut hangat yang disediakan emak lebak, tapi ini? Bayangkan ada 4 panggung sekaligus pada malam itu! Mulai dari wayang, kesenian jipeng, hingga panggung dangdut saweran! Meski ngantuk sudah melanda dan rasa pegal karena perjalanan, tetap saja telinga ini mendengar suara para biduwanita yang minta disawer…ah…desa tenang di atas gunung ini begitu hingar bingar dengan modernisasi kesenian dan bisa kalian tebak panggung mana yang paling ramai kan?! Pasar pun merebak, mulai dari cinderamata tradisional (tenun/kain badui, gelang akar/daun yg dikepang, tas rotan, kaos & baju badui atau ciptagelar, hingga baju modern dan alat elektronik menjamur di pinggir-pingir jalan. Bahkan ada jalan yang hampir tertutup tapi untungnya bukan jalan utama kendaraan roda empat lewat. Semakin larut semakin banyak yg berkunjung. Jalan penuh dengan manusia. Belum lagi pengendara sepeda motor yang “malas” dan memaksa lewat.

 

Day 3

Acara ambil wudhu lebih mudah ketimbang kemarin karena tak banyak manusia yg tidur menghalangi pintu ke kamar mandi. Niat ingin sekalian mandi, gw urungkan karena dingin yang luar biasa. Seperti ambil air dari dalam freezer. Usai sholat, kembali tidur hingga langit mulai terang. Para lelaki itu langsung ganti baju dan menuju lokasi acara. Sedangkan gw langsung mandi meski sempat ngantri karena kamar mandi cuma 1. Pukul delapan gw tiba di start awal iring2an pawai. Tapi yg ada di situ cuma deretan padi yang sudah diikat dan para fotografer. Sementara pesertanya sendiri belum tiba. Sayup-sayup gw dengar lewat pengeras suara yg meminta warga mengembalikan sepatu pak camat dan pak kadin budpar yg hilang. Mata gw beradu dgn kameraman gw dan si bos. Kami tertawa. Rasakan! Hahaha

Sambil nunggu gw liat ada warung dan langsung pesen mie instant buat ganjel perut. Sementara si bos menghabiskan 3 potong semangka. Dan kameraman gw menghabiskan 1 pak biskuit.

Pk.10 iring2an mulai dari ratusan baris kolot (para orang tua/sesepuh), sekitar 10 orang mempertontonkan aksi debus dan ujungan, kemudianl diikuti 20-an pembawa rengkong (pemanggul 10-20 ikat padi yang disatukan dengan tali ijuk dan digantung di bambu dan saat berjalan mereka menggoyang-goyangkan tali ijuk itu dan gesekan ijuk, bambu dan padi menimbulkan suara. Inilah yg disebut rengkong) lalu diikuti pemanggul padi sisanya (tahun ini ada 440 ikat @3,5 kg yg akan dibawa ke leuit si jimat) lalu ada dayang2 dengan kendi berisi air. Di belakangnya lagi, ada iring2an angklung, dog-dog lojor hingga jipeng yang menambah harmonisasi suara rengkong.

Penyiksaan bukan saat berlari mengejar rombongan atau memotong jalan untuk mendapat gbr rombongan, tapi saat berkumpul di depan leuit (lumbung) si jimat. Matahari seperti tidak mau kompromi dan keringat pun mulai menetes. Belum lagi orang yang berdesakan dan hampi mendorong karena ingin melihat prosesi abah ugi memasukkan 1 % padi hasil panen tahun ini ke dalam leuit. “abah meni kasep” lontaran seperti itu memenuhi telingaku. Kekaguman masyarakat akan pemimpin adat belum luntur meski sudah berganti kepemimpinan. Lantunan mantra dan kidung sunda menghantarkan prosesi mendudukan padi di dalam lumbung. Tepat pk 12 acara selesai dan abah ugi pindah ke balai musyawarah untuk bertemu hampir 400 perwakilan adat yg menyampaikan laporan panen.

Sambil menunggu musyawarah selesai, gw terlibat dgn obrolan si bos, Aa’ ende (adiknya abah ugi) dan kang yoyo (seniman aneh tapi jenius menghipnotis gw dengan permainan karinding dan rokok kawungnya yang hangat saat bertemu di kampung bolang, subang 7 bulan lalu) pikiran gw menerawang jauh. Umur abah ugi lebih muda dari gw. Umur A’ ende apalagi. Senyum ramah dan kesederhanaan tak lepas meski nama mereka terkenal. Ingat saat bertemu A’ ende di jalan dan dikenalkan teman si bos (yg ternyata pemijat kepercayaan abah anom) gw sempat terpana. Sapaan ramah, menundukkan kepala yg khas, tanpa ada kesan formal dan jarah seperti raja dan rakyatnya. Tak ada bahasa yang tinggi dan susah dicerna, mengalun dengan intonasi datar dan bersahabat. Balutan baju adat hitam nan khas dilengkapi dengan lilitan gelang akar yang dijalin di tangan dan kaki. Tak ada aksesoris kota di badan mereka. Semua serba sunda dan tradisional. Pancaran sinar mata dan tutur kata sopan nan lugas mengatasnamakan kesederhanaan lewat adat turun temurun.

Usai wawancara dengan abah Ugi dan pamit dengan keluarga abah ugi, kami kembali ke rumah untuk berkemas dan berpamitan. Satu lagi pemandangan khas desa disajikan di depan mata gw. Seorang anak wanita diajak bekerja dengan juragan taipan pendidikan di tangerang. Namanya Renti, anak sulung dari 7 bersaudara. Tak lulus SD, terakhir kelas 5. Ah…umurnya saja mungkin belum 17 tahun. Atau jangan2 dia belum mendapat mens? Apa daya, sang ayah nampak pasrah “anaknya sendiri yang mau kerja, saya tidak maksa.”

Di tengah kesederhanaan kakak beradik ugi dan ende, modernisasi desa dihancurkan penduduk luar yang ingin ikut berpesta. Bagi yang kuat menyimpan adat, akan selamat. Bagi yang tergiur kenikmatan kota yang sesat, tergusur perlahan.

Desa magis yang kesohor itu menyimpan teknologi. Internet dan parabola sudah masuk sejak lama. Boleh percaya boleh tidak, signal hp (telkomsel) bisa didapat dgn baik di makam abah anom (dari sini kita juga bisa liat keseluruhan desa ciptagelar) tapi untuk semua signal operator, bisa didapat di ciptarasa.

Perjalanan pulang tetap lancar dan para lelaki itu kembali memutuskan mandi di sungai cibareno. Gw yg pengen mandi juga memilih agak ke bawah dan tersembunyi, tapi begitu akan duduk di sebuah batu besar untuk meletakan handuk, gw melihat seonggok benda sepanjang 20 cm mengendap di dasar sungai. SIAL! Sisa kotoran manusia atau hewan, gw ga tau! Niat mandi gw urungkan dan gw jalan ke bawah lagi agak ke tengah aliran air dan hanya membasuh kaki dan tangan.

Serentaun ke-640 kasepuhan ciptagelar banten kidul meninggalkan kesan tradisional yang tidak menolak modernisasi tapi berusaha mengembalikan moral warga desa yg sempat terseret modernisasi yang sesat. Keramahan khas desa di Indonesia dari tuan rumah hingga para kerabat dan pembantunya seakan senyum tidak pernah lepas dari raut wajah meraka, bahkan bila harus menyalami ratusan orang yang datang. Atau tengoklah aktifitas pawon (dapur) gede yg tidak pernah berhenti memasak makanan untuk ribuan orang dan tamu yang datang. Tunggu api yang terus menyala, para lelaki yang sibuk mengisi kayu bakar sehingga api  tetap menyala, para wanita yang memasak tak pernah berhenti, hingga obrolan gosip terkini di desa hingga selebritis indonesia bisa di dapat di tempat ini. Semoga saat kembali ke sana, gw bisa melihat desa ciptagelar dalam balutan modernisasi dibalut tradisi yang mengakar dan sesungguhnya.

19 comments:

  1. jadi lo 3 hari di Ciptagelar ga mandiiiiii? waduuuuuuuuh..jorok looooo...
    huh! padahal gue penge banget kesana... hikshikshiks...

    ReplyDelete
  2. enak aja!! gw mandi pagi tauuuuu!!!!!

    ReplyDelete
  3. bO'oong.... Ni Orang tiga hari emang kg mandi wakakakak....

    ReplyDelete
  4. ye....emang bisa dipertanggungjawabkan kok....hahahaha

    ReplyDelete
  5. mandi pagi tapi ga mandi sore.. sama ajah! iiiyh..

    ReplyDelete
  6. tapi kan lw tetep cinta sama gw, la....hihihi

    ReplyDelete
  7. ketemu yoyogasmana teu, si koboy aksep?

    ReplyDelete
  8. iya banget!!! kangen juga sama si akang kasep tea....tetep humble, penuh misteri dan bersama "anak"nya yang baru bernama jeli (seekor anjing dengan bulu putih menjurai panjang hahahaha) kunaon teu kamari, kang?

    ReplyDelete
  9. sibuk jadi tukang gambar keliling, jualan bendera buat tujus belasan, kok aneh banyak orang yang pada beli bendera, emang tujuh belas agustus aya naon nya?

    ReplyDelete
  10. mungkin bendera di rumah nya geus soek kang....hehehehe MERDEKA LAH pokoknya! hehehe

    ReplyDelete
  11. ...waktu yang kabut pagi-pagi, gak dipakai buat opening mBak?...kan keren, mBak Blanche keluar dari kabut jalan ke arah kamera...

    ReplyDelete
  12. ntar gw jadi kayak jin keluar dr botol dong....hehehe

    ReplyDelete
  13. ...yup, coba rambutmu panjang jadi Sadako deh... =P

    ReplyDelete
  14. Perlu di coba ke ciptagelar di hari biasa, bukan waktu perayaan. Untungnya kamu ber id card wartawan sama mas cameramen yang nemenin terus. kalo g, yah susah ketemu abah ugi apalagi dapet kamar. TAMUnya Buanyak.... di hari biasa mungkin kamu bisa duduk berhadapan dengan emak uyen dan abah ugi sambil ngopi n ngobrol ngalor-ngidul sampe pagi. Gw seneng banget aktifitas Pawon g miss dari cerita kamu, emang bener mereka berjasa banget. bahkan kalo hari biasa2 mereka juga yang ngurus dapur (beda banget sama pasukan berseragam penerima tamu yang dateng mungkin cuma pas hajatan).

    ReplyDelete
  15. cuma satu hal yg membuat gw agak susah hang-out dengan pawon gede. gw ga bisa bahasa sunda dengan lancar....hehehe padahal gosip terkini paling afdol didengar dari pawon gede...hehehe anyway trims buat komennya...

    ReplyDelete
  16. cerita yg saya sempat liat sendiri realitasnya saat hadir di Ciptagelar pd acara seren taun ke 641 kemaren..salam kenal.

    ReplyDelete
  17. salam kenal juga. selamat bergabung di pelestarian seni tradisi indonesia.

    ReplyDelete
  18. dikenalnya ciptagelar tidak lepas dari publisitas yang cukup baik, dibanding dengan sirnaresmi atau lainnya. dulu cisungsang cukup terkenal bahkan gubernur solihin dsb sering berkunjung di tahun 70-80an saat seren taun.

    ReplyDelete
  19. @jayawana..memang mas..masih banyak serentaun di desa lain yang patutnya dilestarikan dan belum dipublisitas dengan baik. tidak hanya karena ke-asli-annya yang sudah luntur, tapi gaungnya ke luar pun belum sampai. kemiripan serentaun dan lokasi yang jauh menjadikan media sulit untuk mengakses.
    ini menurut pemahaman saya yang sempit ya mas...kalau ada info yang menarik..mohon kerendahan hatinya memberitahu saya.
    terima kasih sudah mampir.

    ReplyDelete