Sunday 18 May 2014

Rumah Pulang Para Petualang


Pulang ke rumah
tak selalu menetap
Terkadang hanya ingin menatap

Mengidu rindu yang syahdu
Tanpa harus merasa sendu

Pulang dan Rumah. Dua kata yang selalu dirindukan oleh para pejalan alias traveller. Dua kata yang bisa ditemukan para petualang dimana pun dan kemana pun kakinya melangkah. Entah membawa suka atau sekedar menghapus luka dalam setiap jejak langkahnya.

Buku “Rumah ada dimana pun” akan mengajak kita berpetualang ke tempat-tempat favorit para pejalan, pendaki, petualang, atau apapun kau panggil mereka, dari perspektif berbeda 19 perempuan.

Judul buku ini pula yang paling menarik perhatian saya dari rincian judul buku yang tertera untuk di-review. Judul yang membuat saya penasaran dengan pandangan 19 perempuan pejalan mengunjungi tempat-tempat pesiar yang berbeda dengan 19 gaya bercerita yang berbeda pula.

Mulai dari menyisir puncak gunung melihat pesona dari ketinggian di atas 3 ribu meter, menyelam ke surga bawah laut yang dari atas perahu nelayan atau bercengkrama dengan penduduk lokal. Masing-masing membawa cerita, cinta, duka, hingga pelipur lara. Tak semua berakhir happy ending seperti cerita dongeng di negeri kahyangan atau antah berantah. Tapi setiap cerita membawa pesan bahwa rumah bagi pejalan tidak berarti bangunan beratap kokoh yang melindungi dari hujan.

Rumah bisa saja sebentuk flyersheet para pendaki yang berbagi untuk rehat sejenak saat hujan melanda di jalur pendakian Gunung Gede Pangrango. Di ketinggian lebih dari 3 ribu meter dari atas permukaan laut, rumah adalah nostalgia Soe Hok Gie bersama hamparan bunga abadi edelwais di bukit mandalawangi.

Di tanah Celebes (Sulawesi) rumah diharfiahkan tak selalu berjejak di atas tanah karena di teluk Tomini ada hamparan surga bawah laut yang tertutup bentangan air biru nan jernih. Sementara di Ruteng, NTT, kehangatan rumah dan warga desa adat Wae Rebo menghilangkan penat perjalanan mendaki 4 jam para petualang.

Mana yang favorit? Kurasa tidak ada. Karena setiap kisah melambungkan imajinasi saya tentang tempat yang belum saya kunjungi, atau menggelitik nostalgia kehangatan tempat-tempat yang pernah saya singgahi.

Seperti ‘Persisan Anta Tuan’ di larantuka mengingatkan saya akan kehangatan tanah timor, perjalanan yang dianggap aneh karena saya memilih berwisata menyusuri dataran kupang – perbatasan atambua – hingga Timor Leste. Kenangan konflik masa transisi pemerintahan seakan tak terlihat disini. Senyuman penduduk menyapa, meski kita berulang kali mengabadikan mereka lewat kedipan lensa DSLR, tanpa diakhiri dengan tangan menadah meminta upah.

Atau sejenak bersantai di pinggir pantai Iboih, Sabang, menyaksikan biru laut seperti yang diceritakan Mehdia, atau melihat karang dari atas perahu yang bisa disewa. Sabang pun bisa disebut sebagai wisata pelarian karena lokasinya yang berada di ujung batas territorial Indonesia.

‘Rumah adalah di mana pun’ bukan hanya membuka imajinasi saya akan tanah Belitung yang belum saya injak, tapi melamunkan setiap orang di pelosok daerah tercinta yang pernah saya kunjungi yang bersedia membuka tangan menerima saya kapan pun, termasuk berbagi kasur dan makanannya, tanpa berharap balasan seujung kuku pun. Sebuah persaudaraan tanpa harus ada pertalian darah.

Jujur, kekurangan buku ini cuma satu yaitu membahas Bali dan Semeru hingga dua kali. Padahal masih banyak jejak hangat yang bisa disentuh di tanah dengan kapasitas lebih dari 16 ribu pulau ini. Saya membayangkan ada ternate, bandanaira, sumba hingga wakatobi bisa tersaji apik dan rinci, bukan sekedar perjuangan perjalanan mencapai ke ‘rumah idaman’. Apalagi dilengkapi dengan adat atau tradisi khas daerah setempat yang bernuansa kearifan lokal penduduk. Sebab tidak sedikit perjalanan saya ke sebuah tempat destinasi di Indonesia atas dasar tanggal tradisi adat yang turut diburu oleh turis mancanegara.

Tentunya sebuah perjalanan tak sekedar pada akhirnya bukan sekedar wisata mendeskripsikan tempat indah, tapi juga berbagi kehangatan dan kearifan penduduk lokal yang membuat kita mempunyai saudara ke mana pun kaki melangkah. Sebab…

Terkadang pulang tak harus ke rumah
Rumah bukanlah tempat meratap
Tapi kadang sekedar bersandar sebentar
Tanpa harus ada banyak komentar

No comments:

Post a Comment