Monday 28 April 2014

One Fine Date

 Hai. 
Here I am.
Fulfilling my promise and made up my dreams.
Yes. Just to see you.
Can you find me among these thousands people who also adore you?
But please, just for today… be with me.
Just for one fine day.
One Fine Date.

“The Sun” will always be my best travel mate ever. I’ve seen Sun’s smile beautifully thousands times from different place with different taste. This late post represented my lovely Sun from the perspective of Siem Riep, Cambodia.

Perjalanan pertengahan januari 2014 dengan perkiraan sedikit pengunjung ternyata salah besar. Sejak memasuki komplek candi Siem Riep puluhan tuk-tuk (transportasi becak motor) sudah beriringan. Belum termasuk yang menggunakan mobil pribadi hingga mengayuh sepeda. Supir tuk-tuk akan berhenti di dekat loket tiket. Pagi itu setidaknya ada 10 loket tiket yang buka. Masing-masing loket ada 5 – 10 turis yang sudah mengantri untuk foto langsung dan membayar biaya masuk. Firasat saya meski bukan akhir pekan tapi lokasi ini akan ramai. Benar saja, usai membayar tiket $20 untuk trip 1 hari, tuk-tuk membawa saya ke gerbang Angkor Wat. Disana saya berjalan masuk bersama puluhan turis lainnya hingga ke pinggir kolam.

Sebentar, puluhan? Tidak! Ratusan! Karena tepi kolam, tepatnya kolam sebelah kiri, sudah penuh dengan turis dari berbagai negara. You named it! Tampaknya harus perlahan berkeliling mengitari kolam mencari tempat untuk menyelipkan badan dan menanti mentari datang bersama yang lain. Situasi ini mengingatkan saya dengan pananjakan, tempat ratusan orang menanti matahari terbit dari balik gunung batok dan bromo di Jawa Timur. Hanya saja ini candi dengan arsitektur sekilas mirip Prambanan di Jawa Tengah.

Akhirnya ada sedikit celah sempit diantara turis yang tinggi ini untuk tubuh saya. Sengaja saya memberi jarak agak jauh dari depan karena hendak memasang lensa di kamera SLR. Tapi ketika saya mendongak dan hendak mencoba memotret, seorang wanita muda maju ke depan saya tanpa permisi dan menarik ayahnya yang gemuk itu menghalangi wajah saya. Marah? Tidak perlu. Karena ‘karma’ pasti datang terlambat. Para bule tinggi yang berdiri mengapit saya sepertinya ‘ngeh’ dan memberi tahu temannya yang duduk di depan wanita itu. Mereka menggunakan bahasa eropa yang saya tidak tahu darimana apalagi artinya. Lalu teman-temannya yang semula duduk di hadapan kami berdiri tegak sehingga menghalangi wanita dan ayahnya itu untuk memotret. Saya hanya menahan tawa, tersenyum kepada pria-pria bule yang baik hati itu, lalu pergi perlahan mencari tempat yang lain.
 
Di sudut kolam saya mencoba mencari lagi tapi harus ekstra hati-hati karena tanah tepi kolam seperti ambles dan menyatu dengan lumpur kolam yang terlihat karena air yang surut. Meski beberapa turis rela masuk ke dalam kolam dan berdiri bersama tripodnya. Di sudut ini turis (fotografer sepertinya) solo (maksudnya yang pergi sendirian ya bukan asli Solo) lebih banyak. Sekitar 1 meter dari tepi kolam ada sebongkah batu kokoh yang muncul ke permukaan. Setidaknya cukup untuk menopang 1 tubuh. Sempat lihat-lihatan dengan para fotografer ini, lalu mereka pun bergantian memotret dari atas batu itu. Saya? Cukup berdiri di tempat mereka sebelumnya dan mengabadikan berbagai aksi jongkok mereka di atas batu demi memotret matahari terbit.

Angkor Wat punya daya magis tersendiri disini. Sebuah kompleks candi yang saya perkirakan seluas Prambanan, Borobudur dan Ratu Boko yang dijadikan satu dan diperkirakan dibangun tuntas selama 30 tahun seiring pergantian kekuasaan termasuk pergantian agama dari Hindu ke Budha. Jadi jangan pernah berpikir untuk mengelilinginya dengan jalan kaki. Karena supir tuk-tuk pun akan bertanya dulu kepada tamunya candi mana saja yang akan dikunjungi.
 
Matahari yang terbit dari balik candi Angkor juga tidak bulat sempurna seperti di Bromo ataupun Sanur, Bali. Tapi refleksi cahayanya yang dihiasi awan putih berpendar dengan latar belakang langit biru begitu indah muncul dari balik stupa atas candi utama Angkor. Jika kolam bersih dari tanaman teratai maka refleksi candi akan tampak cantik muncul simetris sempurna di kolam tersebut.

Karena pendar cahaya inilah, anda bisa punya banyak waktu menikmati cahaya matahari dari balik stupa utama candi Angkor. Setidaknya hingga mentari tinggi atau sekitar pukul 7, kiranya bisa bergerak ke dalam candi untuk melihat lebih rinci biasan cahaya matahari yang menyinari lukisan dinding dan ukiran candi Angkor secara rinci.
 
Angkor Wat, Seni Cerita Para Raja

Anda akan menyusuri jembatan panjang yang membelah dua kolam menuju gerbang masuk candi. Menaiki undakan tangga dan berada di atasnya seakan kembali ke awal abad 12 saat Raja Khmer Suryavarman II membangun kompleks candi ini. Beberapa ukiran mirip dengan candi hindu di Indonesia termasuk lukisan batu timbul yang menghiasi dinding candi. Cerita epik Hindu Ramayana dan Mahabarata menghiasi dinding, lengkap dengan puluhan model surga dan neraka, gambar apsara dan dewata yang khas.
 
Terkadang saya menguping cerita pemandu wisawatan asing yang sedang menerangkan dengan turis sambil memotret detail lukisan dinding. Bangunan Angkor seperti dibuat simetris persegi empat, termasuk motif pilar dan ukiran di tepian batu. Yang membedakannya dengan candi di Indonesia, setiap pilar ada ukiran lukisan batu timbul. Misalnya saja di setiap pilar di sepanjang selasar muka candi ada apsara yang terukir, sementara di bagian bawah pilar ada relief dewata. Mereka menyebutnya ‘penanda’. Beberapa batu dan relief tampak tidak sempurna lagi tapi jarang ada yang berlumut.

Harap atur nafas jika berkunjung kesini karena anak tangga pasti menanti dan penasaran untuk dinaiki. Sebab menara tengah di candi bergaya arsitektur klasik Khmer ini merupakan yang tertinggi di kompleks candi Siem Riep.

Candi Angkor berbentuk persegi dengan sudut galeri yang didedikasikan untuk Raja, Brahma, Bulan dan Wisnu. Sementara di bagian tengah ada lapangan luas kerap dipakai untuk pertunjukan seni. Jika anda melintasi lapangan ini maka akan menaiki undakan tangga lagi dan keluar di pintu gerbang yang berbeda dengan tempat anda masuk tadi. Pemandangan di bagian belakang ini pun mirip, ada kolam luas yang terbentang. Hanya saja jembatan yang membelah kolam tak serapi yang berada di depan.

Saat kembali ke depan, carilah arah sisi kiri yang memutari candi sehingga anda bisa melihat gerbang masuk sisi kiri dan tiba di kompleks pemakaman para raja. Disini ada tempat duduk, toilet, dan penjual buah-buahan atau jajanan tradisional. Soal harga biasanya pukul rata. $1.

Lalu kembalilah ke gerbang awal anda masuk dan nikmati luasnya langit biru dengan awan berarak menghiasi candi Angkor. Melintasi jembatan menuju gerbang masuk, pengunjung masih saja ramai mendatangi candi ini. Termasuk rombongan pasangan pengantin yang akan membuat foto pre-wedding. Tapi sepertinya mereka salah waktu karena fotografer tampak sulit bergerak leluasa sebab pasangan pengantin ini diburu para turis untuk berfoto layaknya artis.

Candi Seribu Wajah, Bayon

Dari kuil Angkor anda akan menyusuri jalan yang di beberapa tempat diberi penanda gerbang. Bentuk gerbang ini mirip dengan hiasan kepala penari wanita khas kamboja, yaitu menara ukir yang meruncing di bagian atasnya.

Sementara di sisi jalan ada beberapa candi yang cukup dinikmati dari tepi jalan. Misalnya saja 12 candi miniatur yang bentuk seragam mirip dengan candi-candi kecil di datarang dieng plato. Ada juga dinding-dinding batu yang dihiasi ratusan lukisan timbul yang seragam. Mulai dari apsara berbentuk manusia atau dewata, hingga gajah. Gajah merupakan binatang yang cukup dihormati. Sama seperti di Thailand. Karena gajah merupakan transportasi yang cukup terbilang mewah.

Dari sini anda patut singgah di Bayon. Mirip seperti kuil Angkor, anda akan melewati gerbang dan berjalan di jembatan yang membelah dua kolam. Gerbang, jembatan dan dua kolam menjadi penanda bahwa candi tersebut dibangun oleh dan untuk keluarga kerajaan.

Dibangun Raja Jayawarman VII untuk Budha Mahayana selama 1 abad, Bayon terbilang unik karena menampilkan ukiran wajah. Ada banyak yang menafsirkan 216 wajah yang terukir di Bayon merupakan Bodhisatwa Awalokiteswara, ada juga yang menyebut representasi wajah Raja Jayawarman VII. Yang jelas ukiran wajah itu menghadap ke empat arah sebagai perwakilan dari 4 penjuru mata angin.

Candi Benteng Biksu, Banteay Kdei

Dari pinggir jalan candi ini terlihat mirip Bayon. Tapi bila diamati tidak ada lukisan wajah terukir di menara candi. Pun jembatan yang memisah dua kolam. Ini lebih terlihat sangar seperti benteng. Di beberapa sudut tiang ada apsara dua penari.

Banteay Kdei dalam bahasa Khmer berarti benteng berkamar yang ditujukan kepada para biksu. Arsitekturnya pun mirip Bayon. Sebutan lainnya adalah biara para biksu karena menjadi tempat para biksu hingga tahun 1960-an. Kini candi ini agak kurang terawat dan mulai dipugar sana-sini.

Kembali mencuri dengar dari pemandu wisata turis asing, candi ini pernah menjadi saksi pembantaian para biksu ketika pecah perang antara pendukung Hindu dan Budha. Tidak sedikit pula para biksu yang melakukan bakar diri seperti yang kerap terjadi di Tibet beberapa waktu lalu.

Candi ini pun mengingatkan saya pada candi Muarojambi di tanah air. Hanya saja candi di Jambi itu terletak di dekat aliran sungai atau mata air dan menjadi pusat pendidikan agama Budha. Lokasinya pun lebih luas tapi minim ukiran. Bebatuan yang dijadikan tempat pertapaan dan pertemuan terbilang lebih lapang daripada Banteay Kdei.

2 orang biksu yang datang ke Banteay Kdei memperlihatkan raut penasaran dan tertunduk dalam beberapa waktu. Kadang bangunan hanyalah saksi biksu yang bisa diungkap lewat ingatan manusia.

Candi Sunyi, Preah Khan

Semula saya mengira ini adalah pintu masuk Ta Phrom karena ada pohon besar di gerbang candi. Tapi bukan. Candi ini terlihat sunyi dan lebih sepi pengunjung daripada candi besar lainnya di Angkor Wat.

Preah khan, setiap sudut dan ukirannya mirip Prambanan. Dindingnya pun terbilang bersih dari apsara atau ukiran dewata. Hanya saja di salah satu sudut ada patung wanita yang disebut Jayadewi, satu dari dua istri Jayawarman VII.

Duduk diam di salah satu tumpukan batu memandang ke tengah terkesan damai. Memandang ke atas puncak menara candi, anda disuguhkan latar belakang langit biru merona disertai awan yang berarak. Candi ini tidak besar jika dibandingkan candi utama lainnya tapi cukup rindang dan sejuk dengan ornament bebatuan yang mulai terkikis. Saya suka duduk diam disini sambil menikmati sepotong buah nanas segar, melihat tingkah laku turis lain yang sekedar datang dan pergi.

Candi Pohon, Ta Phrom

Candi yang satu ini wajib dikunjungi karena seakan dibangun bersama pohon. Di setiap sudut candi, anda bisa melihat pohon tinggi menjulang menempel erat diantara dinding candi bahkan menerjang atap menjulang ke langit.

Seakan saya bertanya, “Pohon dulu atau candi dulu?”

Pertanyaan tidak penting memang. Tapi keingintahuan membuncah ketika mengeliling candi ini dan melihat dari dekat akar pohon yang kuat menjalar ke sisi dan mengakar kuat ke dalam tanah. Beberapa dinding candi belum sempurna berdiri. Tapi dibiarkan terbengkalai menjadikannya seperti lebih eksotis dan berbeda dengan candi yang lain.

Memasuki candi ini tidak melewati kolam tapi hiasan pohon yang menjulang menahan saya untuk betah berlama-lama disini. Sesekali tersandung akar pohon yang menjalar ke setiap sisi lantai tanah candi.

Usai melintasi selasar pertama, ada sudut favorit pengunjung karena dijadikan tempat syuting film Tomb Rider, Angelina Jolie. Akar pohon yang menjalar di sela sudut dinding candi terlihat mirip ular liar tengah menggeliat. Sementara batang hingga pucuk pohon menjulang ke atas menyongsong matahari. Anda wajib antri hanya untuk berfoto di spot ini.

Lalu akan ada selasar lagi yang menghubungkan bangunan dengan kolam tanpa air di tengah. Disini disebut sebagai tempat penari. Penandanya tengoklah ke setiap dinding di selasar banyak relief penari. Imajinasi saya melambung bila membuat pentas seni tarian disini akan terasa sangat magis jelang matahari terbenam dan disatukan dengan efek cahaya di sejumlah sudut.
 
Ta phrom tak sekedar disebut candi pohon, bagi saya, tapi eksotika perempuan yang tertuang dan menyatu dengan alam.

Candi di atas Gunung, Phnom Bakheng

Ada dua tempat favorit untuk berpisah dengan matahari. Kembali ke candi Angkor atau mendaki ke sebuah bukit Phnom Bakheng. Saya pilih yang kedua karena sekalian ingin melihat Kompleks Candi Siem Riep dari atas.

Pendakian tidak terlalu curam dan bukan berupa deretan ratusan anak tangga. Namun harus sedikit hati-hati karena jalan seperti dialasi semen yang agak licin. Berjalan 1 kilometer tidak jauh, sebenarnya, jika tidak menanjak. Paling curam tanjakan hanya 45 derajat. Dari sini anda baru sampai gerbang candi dan masih harus menaiki lagi puluhan anak tangga dengan ketinggian yang hampir membuat anda mencium lutut ketika naik. Demi matahari marilah naik!

Berada di atas Phnom Bakheng seperti berada di spot Ratu Boko yang ketika cuaca bersih akan terlihat prambanan dan merapi. Tapi disini kita bisa melihat luas lepas Siem Riep dan kompleks Candi Angkor Wat. Candi ini pun disebut candi gunung karena terletak paling tinggi dibandingkan semua candi yang ada di kompleks ini dan disebut dibuat untuk dewa Shiva yang dibangun sekitar abad ke-9.


Sama seperti kejadian pagi tadi, setiap spot disini pun sudah ramai oleh pengunjung. Beberapa sempat saya lihat pagi tadi di kuil Angkor. Matahari masih terlalu tinggi dan masih melambatkan langkahnya jatuh ke garis horizon. Bias cahayanya memantulkan detail apsara dan setiap lukisan batu timbul serta patung yang terukir di gerbang dan bagian dalam candi. Tidak ada salahnya mengambil foto sejenak antara cahaya dan bagian gelap candi menjelang matahari terbenam.

Perpisahan dengan matahari pun tampak tak begitu dramatis dan berjalan lama. Diantara lengan pengunjung yang bersiap mengambil fotomu, kita berpisah disini.

Bulatan merah merona tanpa bias atau semburat
Bergerak perlahan seakan memperlambat waktu
Perlahan menghilang dibalik horizon
Tanpa ditemani awan
Perlahan langit mengurangi biru
Matahari,
Aku pamit pulang
Terima kasih untuk 1 hari yang sempurna.

(end)

No comments:

Post a Comment