Hai.
Here I am.
Fulfilling my promise and made up my dreams.
Yes. Just to see you.
Can you find me among these thousands people who also
adore you?
But please, just for today… be with me.
Just for one fine day.
One Fine Date.
“The Sun” will always be my
best travel mate ever. I’ve seen Sun’s smile beautifully thousands times from
different place with different taste. This late post represented my lovely Sun
from the perspective of Siem Riep, Cambodia.
Perjalanan pertengahan
januari 2014 dengan perkiraan sedikit pengunjung ternyata salah besar. Sejak
memasuki komplek candi Siem Riep puluhan tuk-tuk (transportasi becak motor)
sudah beriringan. Belum termasuk yang menggunakan mobil pribadi hingga mengayuh
sepeda. Supir tuk-tuk akan berhenti di dekat loket tiket. Pagi itu setidaknya
ada 10 loket tiket yang buka. Masing-masing loket ada 5 – 10 turis yang sudah
mengantri untuk foto langsung dan membayar biaya masuk. Firasat saya meski
bukan akhir pekan tapi lokasi ini akan ramai. Benar saja, usai membayar tiket
$20 untuk trip 1 hari, tuk-tuk membawa saya ke gerbang Angkor Wat. Disana saya
berjalan masuk bersama puluhan turis lainnya hingga ke pinggir kolam.
Sebentar, puluhan? Tidak!
Ratusan! Karena tepi kolam, tepatnya kolam sebelah kiri, sudah penuh dengan
turis dari berbagai negara. You named it! Tampaknya harus perlahan berkeliling
mengitari kolam mencari tempat untuk menyelipkan badan dan menanti mentari
datang bersama yang lain. Situasi ini mengingatkan saya dengan pananjakan,
tempat ratusan orang menanti matahari terbit dari balik gunung batok dan bromo
di Jawa Timur. Hanya saja ini candi dengan arsitektur sekilas mirip Prambanan
di Jawa Tengah.
Akhirnya ada sedikit celah
sempit diantara turis yang tinggi ini untuk tubuh saya. Sengaja saya memberi
jarak agak jauh dari depan karena hendak memasang lensa di kamera SLR. Tapi
ketika saya mendongak dan hendak mencoba memotret, seorang wanita muda maju ke
depan saya tanpa permisi dan menarik ayahnya yang gemuk itu menghalangi wajah
saya. Marah? Tidak perlu. Karena ‘karma’ pasti datang terlambat. Para bule tinggi
yang berdiri mengapit saya sepertinya ‘ngeh’
dan memberi tahu temannya yang duduk di depan wanita itu. Mereka menggunakan
bahasa eropa yang saya tidak tahu darimana apalagi artinya. Lalu teman-temannya
yang semula duduk di hadapan kami berdiri tegak sehingga menghalangi wanita dan
ayahnya itu untuk memotret. Saya hanya menahan tawa, tersenyum kepada pria-pria
bule yang baik hati itu, lalu pergi perlahan mencari tempat yang lain.
Di sudut kolam saya mencoba
mencari lagi tapi harus ekstra hati-hati karena tanah tepi kolam seperti ambles
dan menyatu dengan lumpur kolam yang terlihat karena air yang surut. Meski
beberapa turis rela masuk ke dalam kolam dan berdiri bersama tripodnya. Di
sudut ini turis (fotografer sepertinya) solo (maksudnya yang pergi sendirian ya
bukan asli Solo) lebih banyak. Sekitar 1 meter dari tepi kolam ada sebongkah
batu kokoh yang muncul ke permukaan. Setidaknya cukup untuk menopang 1 tubuh.
Sempat lihat-lihatan dengan para fotografer ini, lalu mereka pun bergantian
memotret dari atas batu itu. Saya? Cukup berdiri di tempat mereka sebelumnya
dan mengabadikan berbagai aksi jongkok mereka di atas batu demi memotret
matahari terbit.
Angkor Wat punya daya magis
tersendiri disini. Sebuah kompleks candi yang saya perkirakan seluas Prambanan,
Borobudur dan Ratu Boko yang dijadikan satu dan diperkirakan dibangun tuntas
selama 30 tahun seiring pergantian kekuasaan termasuk pergantian agama dari
Hindu ke Budha. Jadi jangan pernah berpikir untuk mengelilinginya dengan jalan
kaki. Karena supir tuk-tuk pun akan bertanya dulu kepada tamunya candi mana
saja yang akan dikunjungi.
Matahari yang terbit dari
balik candi Angkor juga tidak bulat sempurna seperti di Bromo ataupun Sanur,
Bali. Tapi refleksi cahayanya yang dihiasi awan putih berpendar dengan latar
belakang langit biru begitu indah muncul dari balik stupa atas candi utama
Angkor. Jika kolam bersih dari tanaman teratai maka refleksi candi akan tampak
cantik muncul simetris sempurna di kolam tersebut.
Karena pendar cahaya inilah,
anda bisa punya banyak waktu menikmati cahaya matahari dari balik stupa utama
candi Angkor. Setidaknya hingga mentari tinggi atau sekitar pukul 7, kiranya
bisa bergerak ke dalam candi untuk melihat lebih rinci biasan cahaya matahari
yang menyinari lukisan dinding dan ukiran candi Angkor secara rinci.
Angkor Wat, Seni Cerita Para Raja
Anda akan menyusuri jembatan
panjang yang membelah dua kolam menuju gerbang masuk candi. Menaiki undakan
tangga dan berada di atasnya seakan kembali ke awal abad 12 saat Raja Khmer
Suryavarman II membangun kompleks candi ini. Beberapa ukiran mirip dengan candi
hindu di Indonesia termasuk lukisan batu timbul yang menghiasi dinding candi. Cerita
epik Hindu Ramayana dan Mahabarata menghiasi dinding, lengkap dengan puluhan
model surga dan neraka, gambar apsara dan dewata yang khas.
Terkadang saya menguping
cerita pemandu wisawatan asing yang sedang menerangkan dengan turis sambil
memotret detail lukisan dinding. Bangunan Angkor seperti dibuat simetris persegi
empat, termasuk motif pilar dan ukiran di tepian batu. Yang membedakannya
dengan candi di Indonesia, setiap pilar ada ukiran lukisan batu timbul.
Misalnya saja di setiap pilar di sepanjang selasar muka candi ada apsara yang
terukir, sementara di bagian bawah pilar ada relief dewata. Mereka menyebutnya
‘penanda’. Beberapa batu dan relief tampak tidak sempurna lagi tapi jarang ada
yang berlumut.
Harap atur nafas jika
berkunjung kesini karena anak tangga pasti menanti dan penasaran untuk dinaiki.
Sebab menara tengah di candi bergaya arsitektur klasik Khmer ini merupakan yang
tertinggi di kompleks candi Siem Riep.
Candi Angkor berbentuk
persegi dengan sudut galeri yang didedikasikan untuk Raja, Brahma, Bulan dan
Wisnu. Sementara di bagian tengah ada lapangan luas kerap dipakai untuk
pertunjukan seni. Jika anda melintasi lapangan ini maka akan menaiki undakan
tangga lagi dan keluar di pintu gerbang yang berbeda dengan tempat anda masuk
tadi. Pemandangan di bagian belakang ini pun mirip, ada kolam luas yang
terbentang. Hanya saja jembatan yang membelah kolam tak serapi yang berada di
depan.
Saat kembali ke depan,
carilah arah sisi kiri yang memutari candi sehingga anda bisa melihat gerbang
masuk sisi kiri dan tiba di kompleks pemakaman para raja. Disini ada tempat
duduk, toilet, dan penjual buah-buahan atau jajanan tradisional. Soal harga
biasanya pukul rata. $1.
Lalu kembalilah ke gerbang
awal anda masuk dan nikmati luasnya langit biru dengan awan berarak menghiasi
candi Angkor. Melintasi jembatan menuju gerbang masuk, pengunjung masih saja
ramai mendatangi candi ini. Termasuk rombongan pasangan pengantin yang akan
membuat foto pre-wedding. Tapi sepertinya mereka salah waktu karena fotografer
tampak sulit bergerak leluasa sebab pasangan pengantin ini diburu para turis
untuk berfoto layaknya artis.
Candi Seribu Wajah, Bayon
Dari kuil Angkor anda akan
menyusuri jalan yang di beberapa tempat diberi penanda gerbang. Bentuk gerbang
ini mirip dengan hiasan kepala penari wanita khas kamboja, yaitu menara ukir
yang meruncing di bagian atasnya.
Sementara di sisi jalan ada
beberapa candi yang cukup dinikmati dari tepi jalan. Misalnya saja 12 candi
miniatur yang bentuk seragam mirip dengan candi-candi kecil di datarang dieng
plato. Ada juga dinding-dinding batu yang dihiasi ratusan lukisan timbul yang
seragam. Mulai dari apsara berbentuk manusia atau dewata, hingga gajah. Gajah
merupakan binatang yang cukup dihormati. Sama seperti di Thailand. Karena gajah
merupakan transportasi yang cukup terbilang mewah.
Dari sini anda patut singgah
di Bayon. Mirip seperti kuil Angkor, anda akan melewati gerbang dan berjalan di
jembatan yang membelah dua kolam. Gerbang, jembatan dan dua kolam menjadi
penanda bahwa candi tersebut dibangun oleh dan untuk keluarga kerajaan.
Dibangun Raja Jayawarman VII
untuk Budha Mahayana selama 1 abad, Bayon terbilang unik karena menampilkan
ukiran wajah. Ada banyak yang menafsirkan 216 wajah yang terukir di Bayon
merupakan Bodhisatwa Awalokiteswara, ada juga yang menyebut representasi wajah Raja
Jayawarman VII. Yang jelas ukiran wajah itu
menghadap ke empat arah sebagai perwakilan dari 4 penjuru mata angin.
Candi Benteng Biksu, Banteay Kdei
Dari pinggir jalan candi ini terlihat mirip Bayon.
Tapi bila diamati tidak ada lukisan wajah terukir di menara candi. Pun jembatan
yang memisah dua kolam. Ini lebih terlihat sangar seperti benteng. Di beberapa
sudut tiang ada apsara dua penari.
Banteay Kdei dalam bahasa Khmer berarti benteng
berkamar yang ditujukan kepada para biksu. Arsitekturnya pun mirip Bayon.
Sebutan lainnya adalah biara para biksu karena menjadi tempat para biksu hingga
tahun 1960-an. Kini candi ini agak kurang terawat dan mulai dipugar sana-sini.
Kembali mencuri dengar dari pemandu wisata turis
asing, candi ini pernah menjadi saksi pembantaian para biksu ketika pecah
perang antara pendukung Hindu dan Budha. Tidak sedikit pula para biksu yang
melakukan bakar diri seperti yang kerap terjadi di Tibet beberapa waktu lalu.
Candi ini pun mengingatkan saya pada candi Muarojambi
di tanah air. Hanya saja candi di Jambi itu terletak di dekat aliran sungai
atau mata air dan menjadi pusat pendidikan agama Budha. Lokasinya pun lebih
luas tapi minim ukiran. Bebatuan yang dijadikan tempat pertapaan dan pertemuan
terbilang lebih lapang daripada Banteay Kdei.
2 orang biksu yang datang ke Banteay Kdei
memperlihatkan raut penasaran dan tertunduk dalam beberapa waktu. Kadang
bangunan hanyalah saksi biksu yang bisa diungkap lewat ingatan manusia.
Candi Sunyi, Preah Khan
Semula saya mengira ini
adalah pintu masuk Ta Phrom karena ada pohon besar di gerbang candi. Tapi
bukan. Candi ini terlihat sunyi dan lebih sepi pengunjung daripada candi besar
lainnya di Angkor Wat.
Preah khan, setiap sudut dan
ukirannya mirip Prambanan. Dindingnya pun terbilang bersih dari apsara atau
ukiran dewata. Hanya saja di salah satu sudut ada patung wanita yang disebut
Jayadewi, satu dari dua istri Jayawarman VII.
Duduk diam di salah satu
tumpukan batu memandang ke tengah terkesan damai. Memandang ke atas puncak
menara candi, anda disuguhkan latar belakang langit biru merona disertai awan
yang berarak. Candi ini tidak besar jika dibandingkan candi utama lainnya tapi
cukup rindang dan sejuk dengan ornament bebatuan yang mulai terkikis. Saya suka
duduk diam disini sambil menikmati sepotong buah nanas segar, melihat tingkah
laku turis lain yang sekedar datang dan pergi.
Candi Pohon, Ta Phrom
Candi yang satu ini wajib
dikunjungi karena seakan dibangun bersama pohon. Di setiap sudut candi, anda
bisa melihat pohon tinggi menjulang menempel erat diantara dinding candi bahkan
menerjang atap menjulang ke langit.
Seakan saya bertanya, “Pohon
dulu atau candi dulu?”
Pertanyaan tidak penting
memang. Tapi keingintahuan membuncah ketika mengeliling candi ini dan melihat
dari dekat akar pohon yang kuat menjalar ke sisi dan mengakar kuat ke dalam
tanah. Beberapa dinding candi belum sempurna berdiri. Tapi dibiarkan
terbengkalai menjadikannya seperti lebih eksotis dan berbeda dengan candi yang
lain.
Memasuki candi ini tidak
melewati kolam tapi hiasan pohon yang menjulang menahan saya untuk betah
berlama-lama disini. Sesekali tersandung akar pohon yang menjalar ke setiap
sisi lantai tanah candi.
Usai melintasi selasar
pertama, ada sudut favorit pengunjung karena dijadikan tempat syuting film Tomb
Rider, Angelina Jolie. Akar pohon yang menjalar di sela sudut dinding candi
terlihat mirip ular liar tengah menggeliat. Sementara batang hingga pucuk pohon
menjulang ke atas menyongsong matahari. Anda wajib antri hanya untuk berfoto di
spot ini.
Lalu akan ada selasar lagi
yang menghubungkan bangunan dengan kolam tanpa air di tengah. Disini disebut
sebagai tempat penari. Penandanya tengoklah ke setiap dinding di selasar banyak
relief penari. Imajinasi saya melambung bila membuat pentas seni tarian disini
akan terasa sangat magis jelang matahari terbenam dan disatukan dengan efek
cahaya di sejumlah sudut.
Ta phrom tak sekedar disebut
candi pohon, bagi saya, tapi eksotika perempuan yang tertuang dan menyatu
dengan alam.
Candi di atas Gunung, Phnom Bakheng
Ada dua tempat favorit untuk
berpisah dengan matahari. Kembali ke candi Angkor atau mendaki ke sebuah bukit
Phnom Bakheng. Saya pilih yang kedua karena sekalian ingin melihat Kompleks
Candi Siem Riep dari atas.
Pendakian tidak terlalu
curam dan bukan berupa deretan ratusan anak tangga. Namun harus sedikit
hati-hati karena jalan seperti dialasi semen yang agak licin. Berjalan 1
kilometer tidak jauh, sebenarnya, jika tidak menanjak. Paling curam tanjakan
hanya 45 derajat. Dari sini anda baru sampai gerbang candi dan masih harus
menaiki lagi puluhan anak tangga dengan ketinggian yang hampir membuat anda
mencium lutut ketika naik. Demi matahari marilah naik!
Berada di atas Phnom Bakheng
seperti berada di spot Ratu Boko yang ketika cuaca bersih akan terlihat
prambanan dan merapi. Tapi disini kita bisa melihat luas lepas Siem Riep dan
kompleks Candi Angkor Wat. Candi ini pun disebut candi gunung karena terletak
paling tinggi dibandingkan semua candi yang ada di kompleks ini dan disebut
dibuat untuk dewa Shiva yang dibangun sekitar abad ke-9.
Sama seperti kejadian pagi
tadi, setiap spot disini pun sudah ramai oleh pengunjung. Beberapa sempat saya
lihat pagi tadi di kuil Angkor. Matahari masih terlalu tinggi dan masih
melambatkan langkahnya jatuh ke garis horizon. Bias cahayanya memantulkan
detail apsara dan setiap lukisan batu timbul serta patung yang terukir di
gerbang dan bagian dalam candi. Tidak ada salahnya mengambil foto sejenak
antara cahaya dan bagian gelap candi menjelang matahari terbenam.
Perpisahan dengan matahari
pun tampak tak begitu dramatis dan berjalan lama. Diantara lengan pengunjung
yang bersiap mengambil fotomu, kita berpisah disini.
Bulatan merah merona tanpa bias atau semburat
Bergerak perlahan seakan memperlambat waktu
Perlahan menghilang dibalik horizon
Tanpa ditemani awan
Perlahan langit mengurangi biru
Matahari,
Aku pamit pulang
Terima kasih untuk 1 hari yang sempurna.
(end)
No comments:
Post a Comment