Pulang ke rumah
tak selalu menetap
Terkadang hanya ingin menatap
Mengidu rindu yang syahdu
Tanpa harus merasa sendu
Pulang dan Rumah. Dua kata
yang selalu dirindukan oleh para pejalan alias traveller. Dua kata yang bisa
ditemukan para petualang dimana pun dan kemana pun kakinya melangkah. Entah
membawa suka atau sekedar menghapus luka dalam setiap jejak langkahnya.
Buku “Rumah ada dimana pun”
akan mengajak kita berpetualang ke tempat-tempat favorit para pejalan, pendaki,
petualang, atau apapun kau panggil mereka, dari perspektif berbeda 19 perempuan.
Judul buku ini pula yang
paling menarik perhatian saya dari rincian judul buku yang tertera untuk di-review. Judul yang membuat saya
penasaran dengan pandangan 19 perempuan pejalan mengunjungi tempat-tempat
pesiar yang berbeda dengan 19 gaya bercerita yang berbeda pula.
Mulai dari menyisir puncak
gunung melihat pesona dari ketinggian di atas 3 ribu meter, menyelam ke surga bawah
laut yang dari atas perahu nelayan atau bercengkrama dengan penduduk lokal. Masing-masing
membawa cerita, cinta, duka, hingga pelipur lara. Tak semua berakhir happy ending seperti cerita dongeng di
negeri kahyangan atau antah berantah. Tapi setiap cerita membawa pesan bahwa
rumah bagi pejalan tidak berarti bangunan beratap kokoh yang melindungi dari
hujan.
Rumah bisa saja sebentuk flyersheet para pendaki yang berbagi
untuk rehat sejenak saat hujan melanda di jalur pendakian Gunung Gede
Pangrango. Di ketinggian lebih dari 3 ribu meter dari atas permukaan laut,
rumah adalah nostalgia Soe Hok Gie bersama hamparan bunga abadi edelwais di
bukit mandalawangi.
Di tanah Celebes (Sulawesi)
rumah diharfiahkan tak selalu berjejak di atas tanah karena di teluk Tomini ada
hamparan surga bawah laut yang tertutup bentangan air biru nan jernih.
Sementara di Ruteng, NTT, kehangatan rumah dan warga desa adat Wae Rebo
menghilangkan penat perjalanan mendaki 4 jam para petualang.
Mana yang favorit? Kurasa
tidak ada. Karena setiap kisah melambungkan imajinasi saya tentang tempat yang
belum saya kunjungi, atau menggelitik nostalgia kehangatan tempat-tempat yang
pernah saya singgahi.
Seperti ‘Persisan Anta Tuan’
di larantuka mengingatkan saya akan kehangatan tanah timor, perjalanan yang
dianggap aneh karena saya memilih berwisata menyusuri dataran kupang –
perbatasan atambua – hingga Timor Leste. Kenangan konflik masa transisi
pemerintahan seakan tak terlihat disini. Senyuman penduduk menyapa, meski kita
berulang kali mengabadikan mereka lewat kedipan lensa DSLR, tanpa diakhiri
dengan tangan menadah meminta upah.
Atau sejenak bersantai di
pinggir pantai Iboih, Sabang, menyaksikan biru laut seperti yang diceritakan
Mehdia, atau melihat karang dari atas perahu yang bisa disewa. Sabang pun bisa
disebut sebagai wisata pelarian karena lokasinya yang berada di ujung batas territorial
Indonesia.
‘Rumah adalah di mana pun’
bukan hanya membuka imajinasi saya akan tanah Belitung yang belum saya injak,
tapi melamunkan setiap orang di pelosok daerah tercinta yang pernah saya
kunjungi yang bersedia membuka tangan menerima saya kapan pun, termasuk berbagi
kasur dan makanannya, tanpa berharap balasan seujung kuku pun. Sebuah
persaudaraan tanpa harus ada pertalian darah.
Jujur, kekurangan buku ini
cuma satu yaitu membahas Bali dan Semeru hingga dua kali. Padahal masih banyak
jejak hangat yang bisa disentuh di tanah dengan kapasitas lebih dari 16 ribu pulau
ini. Saya membayangkan ada ternate, bandanaira, sumba hingga wakatobi bisa
tersaji apik dan rinci, bukan sekedar perjuangan perjalanan mencapai ke ‘rumah
idaman’. Apalagi dilengkapi dengan adat atau tradisi khas daerah setempat yang
bernuansa kearifan lokal penduduk. Sebab tidak sedikit perjalanan saya ke sebuah tempat destinasi di Indonesia atas dasar tanggal tradisi adat yang turut diburu oleh turis mancanegara.
Tentunya sebuah perjalanan tak sekedar pada
akhirnya bukan sekedar wisata mendeskripsikan tempat indah, tapi juga berbagi
kehangatan dan kearifan penduduk lokal yang membuat kita mempunyai saudara ke
mana pun kaki melangkah. Sebab…
Terkadang pulang tak harus ke rumah
Rumah bukanlah tempat meratap
Tapi kadang sekedar bersandar sebentar
Tanpa harus ada banyak komentar
No comments:
Post a Comment